Blogger berharap hal-hal sederhana yang Blogger bagikan disini bisa bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal jariyah bagi kreator asli dari artikel maupun gambar-gambar disini. Harap maklum juga atas ejaan Aksara Jawa dalam Blog ini yang tidak konsisten. Salam Rahayu, Berkah Dalem, Bonne Réuissite, Bevakasha....
Jumat, 27 Desember 2019
Kamis, 19 Desember 2019
Selasa, 10 Desember 2019
Tabel Aksara Kawi Awal Standar
=========================
Tulisan
ini adalah
revisi dari artikel sebelumnya, yang berjudul sama. Tautan artikel
tulisan lama
akan secara otomatis dialihkan ke artikel ini. Lihat juga posting ini:
http://tikusprasasti.blogspot.com/2014/10/poster-aksara-kawi-standar.html
Aksara Kawi Awal tipe Standar, atau disebut juga sebagai Aksara
Kawi Awal baku (van der Molen, 1985) adalah aksara Kawi yang muncul pada abad
ke-9 hingga abad ke-10. Aksara tipe ini paling banyak digunakan pada masa
pemerintahan Kayuwangi (856-882 M) dan
Balitung (899-910 M), sedangkan pada pemerintahan Raja Daksa (910-919 M), tidak
ditemukan banyak peninggalannya (de Casparis, 1975). Adapun prasasti yang
memiliki aksara tipe ini adalah: p. Wanua Tĕngah, p. Polengan, p. Taji, p.
Mantyasih, p. Jurungan, dll.
Bentuk
aksara yang
saya tampilkan pada tabel ini jelas tidak sama dengan persis gaya
penulisan
citralekha di prasasti-prasasti. Namun, aksara yang ada pada tabel ini
adalah
aksara Kawi gaya saya. Walaupun demikian, tentunya tetap dibuat
berdasarkan
ciri aksara yang muncul di prasasti-prasasti di kurun waktu
berkembangnya
aksara ini. Bentuk-bentuk aksara yang disusun dibuat semirip mungkin
dengan
aksara-aksara di prasasti. Dengan merujuk pada deskripsi dari buku
Indonesian
Palaeography oleh de Casparis (1975). Tak dapat dipungkiri bahwa ada
aksara
yang belum ditemukan bentuknya sehingga set aksara tidak lengkap. Untuk
itu,
diperlukan upaya rekonstruksi. Rekonstruksi ini tentulah masih sangat
dangkal, karena
hanya mengandalkan sedikit bahan prasasti. Namun, masih ada keyakinan
bahwa rekonstruksi
ini bisa sedikit dipercaya. Karena, aksara-aksara Kawi, memiliki
pola-pola yang
bisa diamati berdasarkan bentuk aksara purwarupanya (Pallawa),
anatomi/bangun
aksaranya, dan kemunculan saling tukar bentuk beda aksara untuk bunyi
yang sama. Aksara atau bentuk yang direkonstruksi adalah yang diwarnai
merah dalam tabel.
Gambar 3. Angka dan Tanda Baca |
Prasasti-prasasti seperti p. Wanua Tĕngah, p. Polengan, p. Taji, p. Mantyasih, p. Jurungan, dll. menampilkan aksara yang tertatah apik, meskipun tanpa bentuk-bentuknya yang banyak hiasan. Ditambah lagi pengaturan jarak antar alinea dan hurufnya teratur. Beberapa prasasti menampilkan aksaranya yang ditatahkan miring (lihat p. Polengan). Bentuk aksara juga sering ditemukan beragam antar prasasti. Salah satu contoh yang saya ketahui adalah aksara tha. Terkadang aksara ini berbentuk mirip wa yang bercoret horizontal di tengah, namun terkadang juga tampil mirip dengan simbol infinite (∞).
Gambar 4. Simbol |
Kuncir merupakan
bagian aksara yang khas dalam aksara Kawi Awal Standar. Meskipun de Casparis
menulis bahwa aksara i-, na, da, ja adalah aksara yang selalu tanpa kuncir,
aksara nga sepertinya juga mengalami hal serupa. Bagian terminal (ujung
garis aksara) – sebelah kanan atas – menurut saya bukanlah kuncir atau serif,
namun masih bagian dari stroke huruf. Penggunaan kuncir yang tidak
seragam antar prasasti, membuat dilema tersendiri. Sebagai contoh adalah aksara
berkuncir ba (lihat p. Polengan), ṇa (lihat p. Gilikan), padahal pada prasasti Kwak I (OD-1507) dan
prasasti OD-1508 , ba dan ṇa tidak dibuat berkuncir. Tidak baik mereka-reka
tanpa kajian, namun upaya penyamarataan aksara ini pastilah beralasan.
Penghilangan kuncir
Pada aksara ka, ta,
dan ga, kuncir menghilang jika dipasangkan dengan wirāma, diakritik i, ī, ĕ,
dan ő. Sepertinya hal yang sama juga dapat terjadi pada aksara kha dan śa
karena memiliki ciri yang mirip. Lihat Gambar 1 dan 4.
Menghindari ambiguitas aksara
Gambar 5. Varian Penyandangan ā |
Bentuk aksara
seringkali menjadi mirip dengan aksara yang lain jika penyandangan diakritik ā
tidak diperhatikan dengan baik (ambigu). Seperti contoh yang saya buat di
posting-an mengenai aksara Bali Kuna zaman Raja Śrī Suradhīpa (di
sini), aksara akan menjadi illegible (sulit dibaca). Untuk mengatasi
hal itu, rupanya leluhur kita telah menemukan caranya, yaitu penyandangan allograf
ā dibuat berbeda pada aksara-aksara tertentu. Adapun aksara-aksara tersebut
antara lain: gha, ṅa, ja, ña, ṭa, ḍa,pha, ba, la, ṣa, dan ha. Sedangkan untuk aksara ḍha, merupakan hasil
rekonstruksi.
Gambar 6. Bentuk Cara Lama dan Baru ña, ṇa, dan ha |
Aksara ña, ṇa, dan ha adalah aksara yang unik. Ketiga aksara ini sering dibuat tidak seragam, ketika membentuk ligatur. Ketidakseragaman yang dimaksud adalah penyandangan suku (vokalisasi u (juga suku ilut ū)) dan pembentukan ligatur bersama beberapa aksara konsonan. Beberapa tatahan menyandangkan vokalisasi suku di tengah aksara, namun terkadang malah di garis vertikal ujung aksara. Jadi, menurut saya ada cara lama yang masih melekat dan cara baru yang pernah diterapkan. Cara lama menandakan pemasangan atau penyandangan masih memiliki ciri dari aksara Pallawa. Sedangkan cara baru menghilangkan ciri Pallawa dengan menyamakan aksara-aksara ini dengan yang lain, sehingga cirinya seragam.
Referensi
de Casparis, J. (1975). Indonesian Palaeography: a History of Writing in
Indonesia from the Beginning to c.A.D. 1500. Leiden/Kőln: E.J. Brill.
Suryani NS, E. (2012). Filologi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Rustan, S. (2010). Font & Tipografi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
van der Mollen, W. (1985). "Sejarah Perkembangan Aksara Jawa"
dalam Aksara dan Ramalan Nasib dalam Kebudayaan Jawa, Soedarsono, dkk (Peny.)
no.13, Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara,
Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Terdapat
pada http://epigraphyscorner.blogspot.com/2014_05_01_archive.html, diakses
tanggal 4 Mei 2015.
Minggu, 24 November 2019
Minggu, 10 November 2019
Jumat, 08 November 2019
Senin, 14 Oktober 2019
Senin, 07 Oktober 2019
Langganan:
Postingan (Atom)