Senin, 27 April 2015

Aksara Bali


Balinese alphabet (Aksara Bali)

Aksara Bali


Konsonan (Akśara Wreşāstra):

Balinese consonants
Bentuk tambahan (Pangangge Akśara) berwarna merah.

Ralat Omniglot : Bentuk Gantungan Ha =

Konsonan Tambahan (Akśara Şwalalita):

Untuk menulis kata-kata dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno)

Balinese Kawi consonants

Vokal (Akśara Suara):

Balinese independent vowels
 
Tanda Diakritik Vokal:
 
Balinese vowel diacrtics 
 
Semi Vokal:

Balinese semi vowels
 
Pemati Vokal (Pangangge Tengenan):


Balinese sound killers (Pangangge Tengenan)
 
Angka Bali:
 
Balinse numerals
 
Simbol-simbol Khusus :

Miscellaneous Balinese symbols

Tanda Baca :
 
Balinese punctuation 

Contoh Teks :
 
Article 1 of the UDHR in the Balinese alphabet
 
Transliterasi :
Makasami manusane kaembasin mahardika lan pateh. sajeroning kahanan lan kuasa. ipun kanugrahin wiweka lan budi. pantaraning manusa mangdane paras-paros masemetonan. 
(Article 1 of the Universal Declaration of Human Rights)

Versi lain :
Sami manusane sane nyruwadi wantah merdeka tur maduwe kautamaan lan hak-hak sane pateh. Sami kalugrain papineh lan idep tur mangdane pada masawitra melarapan semangat pakulawargaan.

Sumber :
omniglot.com

Surat Batak (Aksara Batak)

Surat Batak adalah nama aksara yang digunakan untuk menuliskan bahasa-bahasa Batak yaitu bahasa Angkola-Mandailing, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, dan Toba. Surat Batak masih berkerabat dengan aksara Nusantara lainnya seperti Surat Ulu di Bengkulu dan Sumatra Selatan, Surat Incung di Kerinci, dan Had Lampung. Aksara ini memiliki beberapa varian bentuk, tergantung bahasa dan wilayah. Secara garis besar, ada lima varian Surat Batak di Sumatra, yaitu Angkola-Mandailing, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, dan Toba. Aksara ini wajib diketahui oleh para datu, yaitu orang yang dihormati oleh masyarakat Batak karena menguasai ilmu sihir, ramal, dan penanggalan. Kini, aksara ini masih dapat ditemui dalam berbagai pustaha, yaitu kitab tradisional masyarakat Batak.



Surat Batak zaman dahulu kala digunakan untuk menulis naskah-naskah Batak yang di antaranya termasuk buku dari kulit kayu yang dilipat seperti akordeon. Dalam bahasa Batak buku tersebut dinamakan pustaha atau pustaka. Pustaha-pustaha ini yang ditulis oleh seorang "guru" atau datu (dukun) berisikan penanggalan dan ilmu nujum.

Penulisan huruf surat Batak secara garis besar terbagi dalam dua kategori, yaitu ina ni surat dan anak ni surat.

INA NI SURAT

Ina ni surat merupakan huruf-huruf pembentuk dasar huruf aksara Batak. Selama ini, ina ni surat yang dikenal terdiri dari: a, ha, ka, ba, pa, na, wa, ga, ja, da, ra, ma, ta, sa, ya, nga, la, ya, nya, ca, nda, mba, i, u. Nda dan Mba adalah konsonan rangkap yang hanya ditemukan dalam variasi Batak Karo, sedangkan Nya hanya digunakan di Mandailing akan tetapi dimasukkan juga dalam alfabat Toba walaupun tidak digunakan. Aksara Ca hanya terdapat di Karo sedangkan di Angkola-Mandailing huruf Ca ditulis dengan menggunakan huruf Sa dengan sebuah tanda diakritik yang bernama tompi di atasnya. 


ANAK NI SURAT

Anak ni surat dalam aksara Batak adalah komponen fonetis yang disisipkan dalam ina ni surat (tanda diakritik) yang berfungsi untuk mengubah pengucapan/lafal dari ina ni surat. Tanda diakritik tersebut dapat berupa tanda vokalisasi, nasalisasi, atau frikatif. Anak ni surat ini terdiri dari:
Bunyi [e] (hatadingan)
Bunyi [ŋ] (haminsaran)
Bunyi [u] (haborotan)
Bunyi [i] (hauluan)
Bunyi [o] (sihora)
Pangolat (tanda untuk menghilangkan bunyi [a] pada ina ni surat)

Nama-nama tanda diakritis di atas hanya berlaku untuk bahasa Batak Toba. Dalam bahasa-bahasa Batak lainnya terdapat sejumlah variasi nama ina ni surat. Misalnya Pangolet dalam bahasa Karo dinamakan "penengen".

Seperti halnya ina ni surat, anak ni surat dalam aksara Batak juga disusun menurut tradisi mereka sendiri, yaitu: [e], [i], [o], [u], [ŋ], [x]. Tanda diakritik juga memiliki varian bentuk antara suatu daerah dengan daerah lainnya yang menggunakan aksara yang sama. Di bawah ini disajikan contoh penggunaan tanda diakritik dengan huruf Ka, dan varian tanda pangolat.


Untuk menambah bunyi vokal, bunyi sengau dan bunyi /h/ serta untuk mematikan bunyi /a/ perlu ditambah beberapa tanda diakritik (anak ni surat). Perhatikan bahwa dari semua bahasa Batak, bahasa Toba memiliki jumlah bunyi bahasa yang paling sedikit. Hanya bahasa Karo dan Pakpak yang memiliki bunyi e-pepet dan oleh sebab itu maka ada huruf tersendiri untuk e-pepet yang berbeda dengan e-keras. Dalam bahasa Batak lainnya bunyi e-pepet menjadi /o/: telu => tolu, besi => bosi.

Baik Toba maupun Mandailing tidak memiliki bunyi /h/ pada akhir suku kata sehingga: idah => ida, rumah => ruma, geluh => golu, reh =>ro.






Tambahan :

Untuk mengantisipasi perkembangan zaman, sesuai dengan amanat GBHN, maka tokoh-tokoh masyarakat Batak melalui seminar pada tanggal 17 Juli 1988, telah mencoba mengembangkan aksara Batak dari 19 induk huruf menjadi 29 induk huruf.

Dengan demikian, maka bahasa Indonesia akan dapat dituliskan dengan aksara Batak. Surat Batak yang disepakati 17 Juli 1988, dikembangkan oleh masyarakat BatakAngkola-Sipirok-Padang Lawas-Mandailing-Toba-Dairi-Simalungun dan Batak Karo.


Angka Batak yang di-share di Dunia Maya :

Aksara Batak tidak mengenal angka, namun baru-baru ini dikembangkan.






 
Sumber :
Grup FB : Pecinta Aksara batak

Minggu, 26 April 2015

Mengenal Aksara Sunda

Jika kita warga Bandung atau orang yang kebetulan sedang berada di Bandung, pasti kita pernah melihat pada papan nama jalan (plang) tertulis nama jalan dalam huruf latin dan huruf lain di bagian bawahnya. Mungkin sebagian orang tidak tahu dan mungkin sebagian lainnya tahu itu adalah aksara Sunda. Tapi mungkin juga lebih banyak lagi yang tidak bisa membacanya.
 
Contoh Aksara Sunda Pada Plang Jalan Di Bandung

Penggunaan Aksara Sunda Kuna dalam bentuk paling awal antara lain dijumpai pada prasasti-prsasasti yang terdapat di Astanagede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, dan Prasasti Kebantenan yang terdapat di Kabupaten Bekasi.. Pada awal tahun 2000-an pada umumnya masyarakat Jawa Barat hanya mengenal adanya satu jenis aksara daerah Jawa Barat yang disebut sebagai Aksara Sunda. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa setidaknya ada empat jenis aksara yang menyandang nama Aksara Sunda, yaitu Aksara Sunda Kuna, Aksara Sunda Cacarakan, Aksara Sunda Pegon, dan Aksara Sunda Baku. Dari empat jenis Aksara Sunda ini, Aksara Sunda Kuna dan Aksara Sunda Baku dapat disebut serupa tapi tak sama. Aksara Sunda Baku merupakan modifikasi Aksara Sunda Kuna yang telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda kontemporer. Modifikasi tersebut meliputi penambahan huruf (misalnya huruf va dan fa), pengurangan huruf (misalnya huruf pa cerek dan ngalelet), dan perubahan bentuk huruf (misalnya huruf na dan ma). 

Perbandingan aksara yang pernah dipakai di Jawa Barat 
dengan Aksara Sunda Baku:

Aksara Ngalagena/ Konsonan



Aksara Swara/ Vokal Mandiri



Rarangkén

Angka

Contoh aksara Sunda pada pupuh Asmarandana


Contoh papan nama jalan (plang jalan)

Aksara Buda
Aksara Sunda Kuna
Aksara Cacarakan
Aksara Sunda Baku



Copas dari : 

Sabtu, 25 April 2015

Bahasa Jawa


Unggah-ungguhing Basa Jawa (Jawa Tengah khususnya) adalah etika sopan santun dalam menggunakan bahasa terhadap orang yang diajak bicara. Ini menandakan bahwa orang Jawa jaman dahulu selalu berhati-hati dalam berbicara kepada siapapun, mulai dari berbicara kepada anak-anak sampai para pejabat atau penguasa. Sebagai contoh dalam bahasa Indonesia siapapun yang makan meski itu Presiden penggunaan katanya tetap saja makan. Berbeda dengan bahasa Jawa, penggunaan kata "makan" untuk pejabat atau orang yang dihormati menjadi "dhahar". Sedangkan jika yang makan teman sebaya atau orang yang usianya lebih muda, maka bisa disebut "mangan" atau "maem". 

Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda ini.

Bahasa Indonesia: 
"Maaf, saya mau tanya rumah Kak Budi itu, di mana?"
 
Ngoko kasar: 
“Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèngndi?"
Ngoko Alus: 
“Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?” 

Ngoko meninggikan diri sendiri: 
“Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?”  
(ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)

Madya: 
“Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” 
(ini krama desa (substandar))

Madya Alus:
“Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” 
(ini juga termasuk krama desa (krama substandar))

Krama Andhap: 
“Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” 
(dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)

Krama Lugu: 
“Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”

Krama Alus :
“Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”

Sedikit keluar dari pokok bahasan. Kosakata Jawa memang unik dan bermacam-macam. Sebagai contoh, dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris nama daun apapun tetap disebut daun. Tetapi lain dengan bahasa Jawa, daun memiliki nama sendiri, misalnya daun asem bernama Sinom, daun pisang yang kering disebut klaras. Begitupun dengan nama biji, buah yang masih muda, anak hewan dan sebagainya.  

Nah, untuk kali ini akan dibahas etika penggunaan bahasa Jawa atau orang Jawa mengatakan unggah-ungguhing basa. Agar lebih relevan digunakan Bahasa Jawa he he...

Miturut cak-cakane, basa Jawa diperang dadi 3, yaiku :
1. Basa Ngoko
2. Basa Madya
3. Basa Krama

Kejaba telung werna iku, isih ana maneh, yaiku :
1. Basa Kedhaton
2. Basa Kasar

A. Basa Ngoko

Basa ngoko yaiku basa wong kang ora pati ngurmati marang wong kang diajak guneman. Dene panganggone basa ngoko kwi mau yaitu :

1. Marang sepadha-padha kang wis kulina banget.
2. Marang wong kang kaprenah nom (anak, putu, murid, pramu wisma, bojo, wong cilik, sedulur nom).
3. Yen ngundika, yaiku guneman dhewe utawa celathu sajroning ati.

Basa ngoko ana rong (2) warna, yaiku :

1. Ngoko lugu


Wujude tembung ngoko ora ana tembunge kang krama inggil tumrap wong kang dijak guneman. Yen ana, mung tumrap marang wong kang digunem.

Kanggone : omongane bocah karo bocah sing kulina, omongane wong tuwa karo wong enom yen lagi ngunandika.

Tuladha omongane bocah karo bocah sik wis kulina :
  • "Kowe  arep menyang ngendi, Di?"
  • "Aku mengko dak dolan menyang nggonmu, ya?"
Tuladha omongane wong tuwa marang anak :
  • "Ti, yen arep turu sikatan dhisik!"
  • "Nik, jupukna buku iki!"
Tuladha omongane wong ngunandika utawa ngomong dhewe :
  • "Kapan ya aku duwe sepedha mini?"
  • "E, mbok Giyarti dolan rene, ya."

2. Ngoko andhap


Yaiku basa ngoko kang alus utawa luwih ngajeni. Wujude yaiku basa ngoko kanthi tembung krama inggil tumrap wong kang dijak guneman.

Kanggone : ibu marang bapak, adhi marang kangmase utawa mbakyune, bisa uga kangmas utawa mbak marang adhik kang diajeni marga pangkate luwih dhuwur, anak marang wong tuwa.

Tuladha ibu marang bapak :
  • "Pak, yen arep dhahar wis dak tata ana ing meja."
  • "Yen sida tindak nitih bis wae, Pak."
Tuladha adhi marang kangmase utawa kangmas marang adhine :
  • "Mas, yen kersa mengko dak ampiri mriksani bioskop."
  • "Dhik, iki lho dakcaosi oleh-oleh saka Sala."
Tuladha anak marang wong tuwane :
  • "Ibu gerah, kok aras-arasen?"
  • "Bu, yen arep tindak dakterake."
 
B. Basa Madya

Wujude basa ngoko kacampuran basa krama utawa krama kacampuran ngoko. Basa madya iku pancen kurang taklim (kurang ngajeni) winimbang basa krama. Tetembungane luwih cekak lan luwih prasaja. Ater-ater di- lan panambang -ake ora dikramakake. Tembung kowe dadi dika, samang.

Dene kang lumrah, nganggo basa krama madya iku kayata :
1. Wong kang ora/kurang mangreti ing sastra marang sapadhane.
2. Wong kang ngreti ing sastra marang wong kang kurang ngreti sastra.
3. Kanca karo kanca kang kulina nanging isih ajen-ingajen.

Miturut wujude, tembung kena kabedakake dadi telung warna, yaiku :
1. Madya Ngoko
2. Madyantara
3. Madya Krama

Tuladha :
  • Pak Bayan : "Pak, oleh dika adol bakso niku arak empun suwe banget."
  • Bakul bakso : "Empun, Mas. Ayake enggih empun limolas tahun."

C. Basa Krama

Basa krama iku basa kang taklim, tegese ngajeni marang wong sing diajak guneman. Basa krama kabedakake dadi limang warna, yaiku :
 

1. Mudha Krama
2. Wredha Krama
3. Kramantara
4. Krama Inggil
5. Krama Desa

1. Mudha krama
 
Kang diarani mudha krama iku basane wong enom marang wong tuwa utawa kang sapadhane. Dene wujude yaiku tembung krama nganggo ater-ater krama lan panambang krama. Kang lumrah nganggo basa mudha krama yaiku : anak marang wong tuwane, murid marang gurune, kanca padha kanca kang durung pati kulina.
Tuladha :

  • Ari : "Lho, Adi badhe tindak dhateng pundi?"
  • Adi : "Badhe dhateng Klaten, dipuntimbali eyang."

2. Wredha krama

Basa wredha krama awujud tembung krama nganggo ater-ater di- lan panambang -e, -ake lan ora kamomoran tembung krama inggil tumrap wong kang diajak guneman. Kang lumrah nganggo basa wredha krama yaiku : pemimpin marang andhahane, wong kang sababag kalungguhane naging yen sing diajak guneman menang tuwa.

Tuladha :
"Pinten regine? Angsale ngawis dikinten-kinten boten langkung saking Rp 1.000.00."


D. Krama Inggil
 
Basa krama inggil iku basa kang ngajeni banget. Wujudte kaya basa mudha krama, kaceke panambang -mu owah dadi panjenengan utawa panjenengan dalem. Tembung aku diowahi dadi abdi dalem, dalem, kawula, kula lan sapanunggalane.


Tembung-tembung kang dikramakake inggil kayata peranganing awak, kriya, solah bawa, panganggo utawa barang darbe, kahananing awak lan sapanunggalane.


Tuladha :
- tangan (ngoko) : asta (krama inggil)
- mangan (ngoko) : dhahar (krama inggil)
- njoged (ngoko) : mbeksa (krama inggil)

 

Yen ana tembung sing kudu disalini krama inggil, nanging kramane inggil ora ana, seing dienggo sok banjur tembung krama lugu.

Tuladha :
- Ndara pangeran lagi rembagan.


Manawa ngarani panganggo utawa barang darbe kang ora ana kramane lan kramane inggil, sok dipratelakake nganggo wuwuhan tembung agem, kagungan.

Tuladha :
- agem dalem sepatu : sepatumu
- kagungan dalem sepatu : sepatumu
- kagungan panjenengan sepatu : sepatumu

 

Tembung krama inggil iku ora kena kanggo awak e dhewe. 

Tuladha :
- Kula badhe siram rumiyin (salah)
- Kula badhe adus rumiyin (bener)


E. Basa Kedhaton (Bagongan)
 
Basa Kedhaton mono basane para sentana lan abdining ratu jaman semana, yen padha caturan ana ngarsane ratu ing sajroning kedhaton. Wujudte basa Kedhaton iku tembung krama kang kamomotan tembung basa kedhaton tanpa krama inggil tumrap wong sing diajak guneman.

Ing ngisor iki ana tuladha sawatara basa kedhaton saka Surakarta lan Ngyogyakarta minangka dadi panreten bae.


- Kala wingi ing griya jengandika kados wonten tamu
- Boya, namung tuwi besaos margi kangen.

 
F. Basa kasar (Pisuhan)
 
Basa kasar iku basane wong kang lagi nepsu, kanggo srengen, padu. Wujude tembung basa kasar yaiku basa ngoko kawoworan tembung kasar tumraping kang dadi lelawane utawa sing diunen-uneni.

Sumber :
id.wikipedia.org
javaneseart-culture.blogspot.com
Grup FB : Kawruh Jawa

Jumat, 24 April 2015

Ejaan Basa Jawa mawa Aksara Latin

Sugeng Rawoh Poro Tamu
Mugi kito sedoyo putro lan putri
Kuto Surokarto
Piye corone mateni coro
Wong loro niliki wong loro
Podo-podo ora ono lupute

= = =
 
Contoh penulisan kata di atas beserta berbagai variannya, sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, dan seringkali menimbulkan perdebatan yang tidak ada ujung dan pangkalnya, namun bagaimana sebenarnya penulisan Bahasa Jawa menggunakan Aksara Latin dengan tepat? Mari kita babar bersama (dalam bahasa jawa tentunya).

Basa Jawa asli ora duwe swara f, q, v, x, lan z, nanging basa Jawa Anyar (Jawa Modern) duwe swara iku. Wong-wong Jawa sing mambu sekolahan utawa sing “terpelajar” bakal bisa ngucapake tembung fakir [fak_r], kafir [kaf_r], film [filêm], vokal [vokal], utawa televisi [televisi]. 

Ananging, sing ora mambu sekolahan utawa sing “kurang terpelajar” bakal ngucapake tembung-tembung ing dhuwur dadi [pak_r], [kap_r], [pilêm], [pokal], lan [telepisi] utawa asring kasebut [tipi]. Anane pangocapan-pangocapan kaya mangkono jalaran basa Jawa asli pancen ora duwe swara f lan v.

A. Panulisan Vokal Basa Jawa

Panulisan vokal basa jawa nganggo aksara Latin sing rada mbingungake iku panulisane antara swara [ä], swara [ í ], lan [ü]. Kareben ora bingung, bisa miturut paugeran ing ngisor iki.

1). Panulise swara [ä]

Ing basa jawa swara [ä] utawa a jejeg kudune katulis nganggo aksara a, dudu aksara o, sabab aksara Jawa iku unine nglegena, yaiku ha, na, ca, ra, ka, lsp. Yen katulis nganggo aksara Jawa, swara nglegena iku katulis tanpa nganggo sandhangan apa-apa. 

Manawa swara [ä] utawa swara a nglegena katulis nganggo aksara o, unine terus dadi ho, no, co, ro, ko, lsp. Lan yen katulis nganggo aksara jawa, kudu tinulis mawa taling lan tarung.

Kajaba kuwi, swara [ä] lan [o] iku bisa mbedaake wujud lan surasaning tembung sabab kalebu fonem kang beda. Dadi, swara [ä] kang linambangake mawa aksara a iku beda banget karo swara lan aksara o.

Panulisane swara [ä] nganggo aksara a utawa o bisa uga dititeni nganggo cara mangkene.

Yen ana swara [ä] dumunung ing tembung lingga lan tembung kasebut diwuwuhi panambang –e, swara [ä] ing tembung iku owah dadi swara [a] utawa a miring, panulise
swara [ä] ing tembung kasebut kudu tinulis mawa aksara a.

arta + -e _ artane
[artä] [-é] _ [artané]

bala + -e _ balane
[bälä] [-é] _ [balane]

sega + -e _ segane
[segä] [-é] _ [sêgané]

rupa + -e _ rupane
[rupä] [-é] _ [rupané]

Katon cetha swara [ä] ing tuladha dhuwur bakal owah dadi [a] sawise kawuwuhan panambang –e. Mulane, tembung arta, bala, sega, lan rupa ora bener yen katulis arto, bolo,sego, lan rupo.

Yen ana swara [ä] dumunung ing tembung lingga lan tembung kasebut diwuwuhi panambang –e, swara [ä] ing tembung iku ajeg utawa ora owah dadi swara [a], panulise swara [ä] ing tembung iku kudu tinulis mawa aksara o.

growong + -e _ growonge
[gräwä_] [-é] _ [gräwä_é]

bolong + -e _ bolonge
[bälä_] [-é] _ [bälä_é]

sorot + -e _ sorote
[särät] [-é] _ [säräté]

kopi + -e _ kopine
[käpi] [-é] _ [käpiné]

Kacetha yenta swara [ä] ing tembung growong, bolong, sorot, lan kopi ing dhuwur sanadyan diwuwuhi panambang –e, swara [ä] ing tembung iku ora owah dadi swara [a].

Sarehne ora owah, swara [ä] ing tembung kuwi kudu tinulis nganggo aksara o.

2). Panulise Swara [ í ]

Yen ana swara [ í_] utawa i jejeg kang swarane memper [é] dumunung ing tembung lingga lan tembung kasebut diwuwuhi panambang –e, swara [_] ing tembung kasebut malih dadi swara [i], panulise swara [ í_] kasebut kudu tinulis mawa aksara i.

cacing + -e _ cacinge
[cací_] [-é] _ [caci_é]

maling + -e _ malinge
[malí_] [-é] _ [mali_é]

pitik + -e _ pitike
[pití_] [-é] _ [piti_é]

arit + -e _ arite
[arít] [-é] _ [arité]

Swara [í] ing tembung cacing, maling, pitik, lan arit ing dhuwur kudu katulis nganggo aksara i sabab swara [é] ing tembung-tembung kuwi bakal malih dadi swara [i] sawise tembung-tembung kasebut kawuwuhan panambang –e.

Dadi, jelas salah yen tembung-tembung ing dhuwur katulis caceng, maleng, pitek utawa aret.

3). Panulisane Swara [ü]

Yen ana swara [ü] utawa u miring kang swarane memper [o] dumunung ing tembung lingga lan tembung kasebut diwuwuhi panambang –e, swara [ü] ing tembung iku malih dadi swara [u] panulise swara [ü] ing tembung kuwi kudu tinulis nganggo aksara u.

jagung + -e _ jagunge
[jagü_] [-é] _ [jagu_é]

wedhus + -e _ wedhuse
[weDüs] [-é] _ [weDusé]

siwur + -e _ siwure
[siwür] [-é] _ [siwuré]

parut + -e _ parute
[parüt] [-é] _ [paruté]

Manut paugeran ing dhuwur, tembung jagung, wedhus, siwur lan parut kaya tuladha ing dhuwur kudu katulis nganggo aksara u, lan salah yen tinulis jagong, wedhos, siwor, utawa parot.

B. Panulisan Konsonan Basa Jawa

Ing basa Jawa, antaraning pocapan lan panulisan kalamangsane ana gesehe. Ing kene paugeran panulisane kaperang dadi 5 perkara, yakuwi panulisan aspirat, prenasalisasi, glottal lan retofleks, panulisan mandaswara, lan swara hamzah.

1). Panulisan Aspirat

Basa Jawa duwe konsonan khas kang kasebut aspirat (aspirata). Konsonan aspirat iku awujud swara [h] kang tansah tumempel ing swara anteb [b], [d], [D], [j], lan [g]. kabeh konsonan anteb iki ing basa jawa bakal kaucapake dadi [bh], [dh], [Dh], [jh], lan [gh].

Tuladha.
bapak _ [bhapa_]
bisa _ [bhisä]
sabar _ [sabhar]
dluwang _ [dhluwa_]
durung _ [dhurü_]
kidul _ [kidhül]
dhudhuk _ [DhuDhü_]
kandha _ [känDhä]
kadhung _ [kaDhü_]
jiwit _ [jhiw_t]
jaran _ [jharan]
waja _ [wäjhä]
gusti _ [ghusti]
sega _ [sêghä]
wagu _ [waghu]

Manawa dijingglengi kanthi permati, konsonan khas iku jebule mung alofon, dudu fonem, sebab antarane swara [b] lan [bh], [d] lan [dh], [D] lan [Dh], [j] lan [jh] sarta [g] lan [gh] ing tembung kasebut ora njalari owahe teges. Mula saka kuwi, panulisan tembung kang mawa aspirat ngono kuwi, swara aspirat ora perlu katulis.

Dadi, panulisan tembung-tembung tuladha ing dhuwur sing bener kaya ing ngisor iki.

bener salah
bapak >< bhapak
bisa >< bhisa
sabar >< sabhar
dluwang >< dhluwang
durung >< dhurung, dhurong
kidul >< kidhul, kidhol
dhudhuk >< dhudhok
kandha >< kondho
kadhung >< kadhong
jiwit >< jhiwit, jhiwet
jaran >< jharan
waja >< wajha, wojho
gusti >< ghusti
sega >< segha, segho
wagu >< waghu

Ing basa Jawa kuna, antarane swara [b] lan [bh], [d] lan [dh], [D] lan [Dh], [j] lan [jh] sarta [g] lan [gh] iku pancen dibedaake panulisane, sebab swara-swara iku kalebu fonem kang beda.

Nanging ing basa jawa saiki panulisane swara iki ora dibedaake sabab swara-swara kasebut ora wujud fonem kang beda, mung wujud alofon.

2). Panulisan Prenasalisasi

Prenasalisasi iku swara irung kang tansah ndhisiki sawijining tembung nalika tembung iku kaucapake. Ing basa Jawa, prenasal iki akeh-akehe kedadeyan ing tembung-tembung kang kawiwitan dening swara anteb, yaiku [b], [d], [D], [j], lan [g]. Swara irung kang ndhisiki iki akeh-akehe tembung aran (kata benda), utawa tembung lingga kang nuduhake papan.
Bali _ [mbali]
Bandung _ [mbandü_]
Bogor _ [mbägär]
Dili _ [ndili]
Denpasar _ [ndènphasar]
Demak _ [ndema_]
dhuwur _ [nDuwür]
dhipan _ [nDipan]
dhingklik _ [nDi_kl__]
Jepara _ [_jhephärä]
Jember _ [_jhêmbhêr]
Jatisari _ [_jhatisari]
Gresik _ [_gres__]
Grogol _ [_grägäl]
Gondhanglegi _ [_gonDa_legi]

Sanadyan ing pocapan swara irung tansah ndhisiki swara anteb, paugeran kang digawe netepake yenta prenasalisasi ngono kuwi ora perlu katulis.

Dadi, panulisan tembung-tembung tuladha ing dhuwur sing bener kaya ing ngisor iki.

bener salah
Bali >< mBali, Mbali
Bandung >< mBandung, Mbandung, mBandong, Mbandong
Bogor >< mBogor, Mbogor
Dili >< nDili, Ndili
Denpasar >< nDhenpasar, Ndenpasar
Demak >< nDemak, Ndemak
dhuwur >< ndhuwur
dhipan >< ndhipan
dhingklik >< ndhingklik
Jepara >< nJepara, Njepara, nJeporo, Njeporo
Jember >< nJember, Njember
Jatisari >< nJatisari, Njatisari
Gresik >< ngGresik, Nggresik, ngGresek, Nggresek
Grogol >< ngGrogol, Nggrogol
Gondhanglegi >< ngGondhanglegi, Nggondhanglegi

Ana uga tembung lingga kang wiwitane awujud swara anteb lan nuduhake araning papan, nanging tembung iku ora kadhisikan swara irung. Tuladha, tembung Jakarta lan Jepang, ora nate kaucapake [njakarta] lan [njepa_].

Ana maneh tembung kang kagolong katrangan (adverbia) sing kawitane tembung uga swara anteb, ing pangucapan tembung iku tansah kadhisikan swara irung. Tembung kasebut yaitu boten, bokbilih, bokmenawa, lan bokmenawi. Tembung-tembung mau bakal kaucapake dadi [mbätên], [mbä_bil_h], [mbä_menäwä], lan [mbä_mênawi]. Nanging mangkono, ing panulisan, sing pener anuswara [m] kang ndhisiki tembung iku ora perlu katulis.

bener salah
boten >< mboten
bokbilih >< mbokbilih, mbokbileh
bokmenawa >< mbokmenawa, mbokmenowo
bokmenawi >< mbokmenawi

3). Panulisan Glotal lan Retofleks

Swara glotal kuwi swara ampang ing gorokan. Sing kalebu swara iki yakuwi swara [_] utawa k ampang. Swara iki ora nate urip ing purwaning tembung, lan racake dumunung ing pungkasaning tembung. Swara Retofleks yakuwi swara untu utawa sinebut apikopalatal.

Kalebu retofleks yakuwi swara anteb [T] utawa [D]. Meh kabeh swara untu bisa dumunung ing kawitan, tengah, lan pungkasan tembung, nanging retofleks [T] lan [D] iku mung bias dumunung ing ngarep lan tengah tembung wae, lan ora nate manggon ing pungkasan tembung.

Paugeran kang ditetepake, swara [k] ing pungkasan tembung kabeh bakal kaucapake dadi glotal [_]. Swara glotal k manda-manda iki kudu katulis nganggo aksara k. mangkono uga swara [T] lan [D] retofleks, swara iku kudu katulis nganggo aksara th lan dh kaya tuladha ing ngisor iki.

[simbä_] _ simbok
[gupa_] _ gupak
[pida_] _ pidak
[Tolé] _ thole
[Tukül] _ thukul
[baTä_] _ bathok
[Dawäh] _ dhawuh
[gaDah] _ gadhah
[päDä] _ padha

4). Panulisan Mandaswara

Mandaswara iku swara manda-manda kang dumunung ing antarane vokal loro (ning dudu diftong) kang beda wujud lan unine. Sing kalebu mandaswara yaiku [y] lan [w]. Swara [y] bakal kaapit vokal /i/-/a/, lan /e/-/a/. Dene swara [w] bakal kaapit vokal /u/-/a/ lan /u/-/i/.

Gampangane bae mangkene. Yen ana tembung kang kedunungan vokal loro kang beda wujude, ing antarane vokal loro mau mesthi kapanjingan mandaswara. Paugerane, mandaswara kang dumunung ana ing tembung lingga kasebut kudu tinulis, dene mandaswara kang ana ing tembung andhahan ora perlu katulis. Tuladha.

a.Tembung lingga

Pocapan tinulis bener tinulis salah
[priyä] _ priya >< pria
[kiyai] _ kiyai >< kiai, kyai
[dluwa_] _ dluwang >< dluang
[Duw_t] _ dhuwit >< dhuit, duit, dhuet, duet
[niyat] _ niyat >< niat
[Satriyä] _ satriya >< satria, satrio, satriyo
[raDiyo] _ radhiyo >< radio, radhio
[biyasa] _ biyasa >< biasa, bhiasa, bhiyasa

b. Tembung andhahan

andhahan Pocapan tinulis bener tinulis salah
rabi + -a _ [rabiyä] _ rabia >< rabiya, rabio, rabiyo
wani + -a _ [waniyä] _ wania >< waniya, wanio, waniyo
tuku + -a _ [tukuwä] _ tukua >< tukuwa, tukuo, tukuwo
turu + -a _ [turuwä] _ turua >< turuwa, turuo, turuwo
rene + -a _ [rénéyä] _ renea >< reneya, reneo, reneyo,
mrenea, mreneo, mreneyo
sare + -a _ [saréyä] _ sarea >< sareya, sareo, sareyo
ngono + -a _ [_onowä] _ ngonoa >< ngonowa, ngonowo
lunga + -a _ [lu_äwä] _ lungaa >< lungawa, lungoo, lungowo

5). Swara Hamzah

Kajaba mandaswara isih ana maneh swara kang mbingungake, yaiku swara hamzah. Swara hamzah iku swara [h] kang kaucapake manda-manda. Ing basa Jawa swara [h] ora perlu katulis, nanging ing basa Indonesia swara iki malah kudu tinulis. Paugeran ing swara hamzah yakuwi swara [h] ing tembung lingga kang kaapit vokal loro sing beda unine, ora perlu katulisake. Tuladhane,

pocapan tulisan bener tulisan salah
[mäjäpah_t] _ majapait >< majapahit, mojopait, mojopahit
[pah__] _ paing >< pahing, paeng, paheng
[jahé] _ jae >< jahe
[lah_r] _ lair >< lahir, laer, laher
[jah_t] _ jait >< jahit, jaet, jahet

Liyane kuwi, manawa ana tembung lingga kang wekasane wujud aksara [h] lan tembung iku diwuwuhi panambang, swara [h] ing tembung kuwi ora ilang utawa ora luluh, nadyan pocapane swara iku kaya-kaya ilang, ing panulisane, swara [h] mangkono mau kudu tetep ditulis. Tuladhane,

andhahan pocapan bener salah
kalih + -an _ [kalihan] _ kalihan >< kalian, kaliyan
duduh + -e _ [duduhé] _ duduhe >< dudue, duduwe
weruh + -e _ [wêruhé] _ weruhe >< werue, weruwe
adoh + -e _ [adähé] _ adohe >< adoe
uyah + -e _ [uyahé] _ uyahe >< uyae

C. Paugeran Mirunggan

Ing basa Jawa ana tembung kang pangucape ora padha karo tulisane, nanging tembung iki gunggunge ora akeh. Tuladhane,

tembung mirunggan tinulis diwaca
punika [mênikä]
punapa [mênäpä]
ingkang [i_kê_]
bae [waé]

Dening: Irfan Al Akbar

Pustaka
Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu, 2001, Paramasastra Gagrag Anyar Basa Jawa, Jakarta:Yayasan Paralingua.
Penulis adalah pemerhati bahasa jawa, lahir di Blitar, Jawa Timur, banyak mengikuti komunitas bahasa jawa dan sastra, semasa kuliah juga bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Teknik Universitas Brawijaya.

Copas Dari :