Senin, 30 Maret 2015

Nukta dan Aksara Rekan

Kebanyakan bunyi yang asing dalam bahasa Jawa ditulis dengan tanda baca cecak telu / nukta (  ꦳) di atas aksara yang bunyinya mendekati. Aksara semacam itu disebut sebagai aksara rekan atau "aksara rekaan" (rekaan = buatan), yang diklasifikan berdasarkan bahasa asalnya.

Rekan paling umum berasal dari bahasa Arab dan bahasa Belanda. Terdapat pula dua jenis rekan lainnya yang digunakan untuk menulis bahasa Sunda dan kata serapan bahasa Tionghoa.


Dalam manual book Unicode Aksara Jawa dijelaskan sebagai berikut :




Di sekolahan pada umumnya juga diajarkan bahwa aksara rekan tidak boleh dipasangi karena akan membingungkan pembaca, sehingga harus dipangku jika memang aksara tersebut tidak memiliki bunyi vokal (sigeg/mati).

Namun dalam Serat Sunan Bonang terdapat contoh penggunaan nukta saat menjadi pasangan, yaitu nuktahnya di bawah pasangan.

 
Berikut daftar Aksara Rekan untuk bahasa Latin, Arab dan Tionghoa :


Berikut daftar padanan aksara jawa dengan hijaiyah yang diperoleh dari Grup Sinau Aksara Jawa :


Sumber :
Penjelasan Fonta Unicode Aksara Jawa
Wikipedia.com
Omniglot.com
Grup Sinau Nulis Jawa
Grup Sinau Aksara Jawa

Panjingan

(Dibutuhkan Font Aksara Jawa Unicode untuk melihat naskah secara penuh)


Bagi pengguna jawa baru, beberapa orang kesulitan untuk menuliskan CUMPLUNG KECEMPLUNG BLUMBANG GEMBLUNDHUNG KEMAMBANG, beberapa variasi dari suku kata ini juga sering digunakan untuk ujicoba. Namun bagi pengguna tata cara tulis jawa lama dan tata tulis jawa yang liberal tidak mengalami kesulitan apa-apa.



Dalam tata tulis Aksara Jawa ada yang disebut dengan istilah "Panjingan"

PANJINGAN

Panjingan itu ada 5 macam
1. Panjingan RA = cakra
2. Panjingan Ya = pèngkal
3. Panjingan RÊ = kêrêt
4. Panjingan La = sêpêrti pasangan LA
5. Panjingan WA= sêpêrti pasangan WA

Karena panjingan RA, YA dan RÊ bentuknya tidak sama dengan pasangan RA, YA, RÊ maka mudah cara membedakanya dan ketiga panjingan ini sudah mempunyai nama sendiri yaitu cakra, pèngkal dan kêrêt maka ketiga panjingan ini dikelompokan bukan pada macam-macam panjingan, tetapi masuk pada jenis-jenis saṇḍangan. Tinggal 2 saja yang biasa disebut panjingan yaitu panjingan WA dan panjingan LA.
 
Panjingan adalah sêsêlan (sisipan) huruf lain pada satu aksara. Panjingan dibaca menyatu dengan aksara yang dipanjinginya. Ini yang membedakan antara panjingan dan pasangan.

Misalnya begini :
 
Panjingan LA :

ꦄꦩ꧀ꦥ꧀ꦭꦱ꧀ = Amplas

ꦥ꧀ꦭꦱ꧀ꦠꦶꦏ꧀ = plastik

ꦱ꧀ꦭꦺꦴꦒꦤ꧀ = ꦱ꧀ꦭꦼꦴꦒꦤ꧀ = slogan

Panjingan WA :

ꦱ꧀ꦮꦫ = Swara

ꦢ꧀ꦮꦶꦥ = Dwipa

ꦏ꧀ꦮꦕꦶ = Kwaci

Perhatikan kata dalam contoh diatas. Bunyi LA dan WA mênèmpèl pada aksara yang dipanjingi.

PASANGAN

Pasangan itu adalah pemutus huruf sebelumnya dengan huruf yang berupa pasangan baik itu dalam satu kata ataupun pada saat pergantian kata.
Contoh :
 
ꦱꦤ꧀ꦠꦶ santi (san-ti) pasangan akan terbaca sebagai huruf mandiri yang hidup.tidak menempel pada huruf yang dipasangi ( bukan dibaca SA-NTI)
 
Pasangan LA dan WA itu hanya terjadi saat perpindahan kata satu dengan kata berikutnya karena jika ada "seperti pasangan WA dan LA berada dalam satu kata" maka jelas itu bukan pasangan tetapi panjingan, seperti contoh di atas.

Contoh pasangan WA
 
ꦥꦏ꧀ꦮꦲꦶꦢ꧀ = Pak Wahid

ꦫꦻꦴꦠ꧀ꦮꦗꦃ = Raut wajah

Contoh pasangan LA :

ꦆꦏꦤ꧀ꦭꦺꦭꦺ = Ikan lélé

ꦈꦝꦶꦤ꧀ꦭꦥꦫ꧀ =
ꦈꦝꦶꦤ꧀ꦭꦥꦂ = Udin lapar

Perhatikan:
Di sini pasangan WA dan LA berada tepat saat pergantian kata. Cara membedakan panjingan LA, WA dengan pasangan LA, WA bukan pada bentuknya tetapi pada penempatan dalam teks.

Panjingan dalam suatu kasus penulisan kata, akan membentuk sebuah aksara bertumpuk tiga, seperti pada contoh-contoh Koleksi Karaton Ngayugyakarta Hadiningrat berikut ini :







Jaman dulu tidak ada masalah dengan aksara yang bertumpuk-tumpuk, karena dari Pallawa dan Devanagari yang merupakan babon Aksara Kawi dan akhirnya berkembang menjadi Aksara Jawa juga menulis dengan konsonan yang bertumpuk-tumpuk.

Panjingan RA dan YA masih bisa disandhangi seperti :

ꦩꦔꦤ꧀ꦏꦿꦸꦥꦸꦏ꧀ = Mangan Krupuk

Panjingan LA dan WA tidak bisa dipasangi atau dipanjingi lagi karena akan bertumpuk-tumpuk semakin jauh ke bawah. Dalam catatan Serat Ajisaka dan Serat Wujil  dan banyak contoh yang lain, panjingan LA masih bisa di-suku, namun hanya sampai suku saja, sehingga bisa menuliskan angklung, cangklung, gemblung, jemblung, kenclung, dll tanpa harus menempatkan pangkon di tengah kata yang akan membingungkan pembaca (pangkon bisa menjadi koma apabila berada di tengah kalimat).

 Gemblung

Ngajak nglurug blusukkan.

Berikut contoh penggunaan pangkon ditengah kalimat, bukan sebagai koma, bukan menghindari tumpuk tiga, juga bukan untuk rata (alignment) kanan.


 
Untuk kerapian penulisan memang sebenarnya bisa diuraikan saja, karena aksara kita akan lebih rapi apabila tidak bertumpuk 3, misalnya : mangan kuwaci, adol kuwali, mangan gulali, adol gulali. Namun apabila bisa menjaga nilai estetika, kerapian dan memang memadai, bisa juga ditulis seperti di bawah ini :

Mangan Kwaci, Adol Kwali

Dalam perkembangannya dengan munculnya mesin cetak yang belum secanggih saat ini, karena dulu untuk mencetak setiap karakter harus dibuat satu plat sehingga aksara bersusun akan sangat memboroskan pembuatan plat dan itu tidak efisien, aksara bersusun 3 atau lebih juga membuat susunan aksara secara estetika juga kurang rapi, jadi muncullah peraturan baru bahwa Aksara Jawa tidak boleh bersusun tiga, karena selain memboroskan jarak spasi ke bawah juga kurang rapi.

Panjingan Wa dalam Aksara Ra
Dalam Paugeran Sriwedari Aksara NGA tidak dapat dipasangi karena akan digantikan dengan Cecak, namun dalam Cara Tradisional Aksara RA adalah satu-satunya aksara yang tidak bisa dipasangi, karena bentuknya yang kecil, Aksara Ra tidak dipasangi, tetapi dijunjung ke atas menjadi layar. Meski demikian, Aksara RA bisa dipanjingi, dan panjingan yang umum pada Aksara RA adalah Panjingan WA.


Nga-lêlêt dan Panjingan LA :
Nga-lêlêt hanya bisa menjadi pasangan, tidak bisa menjadi panjingan. Pasangan Nga-lelet selalu merupakan awal dari sebuah kata.
 Bu Bardi mundhak lemu. Ngidak lemah bisa bebles.

Contoh Penulisan Nama :
Sebuah nama "DHIMAS DWI SAPUTRA". Dalam nama "Dwi" bunyi 'wa' merupakan panjingan. Jadi bisa saja dtempatkan di bawah SA. Tinggal dipilih saja mau yang warna merah atau hitam, dua-duanya benar.

Contoh lain :

 Dimas Dwiyarta lagi hanisil kwaci.

Hitam : Cara Tradisional
Merah : Cara Sriwedari

Sumber :
Wedaranipun Bapa Iqra Hanacaraka, Bapa Waskita Kinanthi, Bapa YBG Kramawirya, kaliyan pendhapat para sutresna Aksara Jawa ing Grup Sinau Nulis Jawa.
(https://www.facebook.com/groups/sinau.nulis.jawa/)

Dirgamuntak (Pepet-Tarung)

Dirgamuntak atau Pepet-Tarung adalah salah satu sandhangan dalam Aksara Jawa yang tidak dipakai dalam Paugeran Sriwedari. 

Vokal ini dibaca ö seperti pada kata "toko", kalau dalam Bahasa Jawa seperti kata : 
- Molo (pênuwun)
- Coro (lipas/kecoak)
- Moto (penyedhap rasa)
- Kroto (telur semut ngangrang)
- Crobo (jorok) dll yang sekarang digantikan taling tarung.

Jadi taling-tarung itu dipakai untuk kata yang berbunyi o berat ditengah kata, misal pada kata kotor, bocor, bodhoh, monyong, gotong-royong, borong, koprol dll



Penggunaan Pepet-Tarung dalam Naskah Kuno

Pa Cerek Tarung = dibaca Ro seperti pada kata Roda
Nga Lelet Raswadi = dibaca Lo 






Coro Loro = Dua Kecoak

Sumber :
Penelitian Naskah Kuno Jawa dan Bali oleh Bapa Iqra Hanacaraka, Bapa Waskita Kinanthi, Mas Bli Ida Bagus yang di bagikan di Grup Sinau Nulis Jawa
(https://www.facebook.com/groups/sinau.nulis.jawa/)

Jumat, 27 Maret 2015

Contoh Tulisan Jawa Jaman Dahulu












Salah satu contoh penulisan aksara Jawa sebagai surat perpisahan pada saat Thomas Stamford Raffles mengundurkan diri sebagai gubernur Jendral pada 1816.


Sumber :
Postingan Mas Aditya Bayu tentang contoh-contoh naskah tua di Grup Sinau Nulis Jawa