Kamis, 31 Desember 2015

Sejarah Kalender Masehi


Hari ini adalah hari terakhir menurut Kalender Internasional (Bangsa kita menyebutnya Kalender Masehi). Dan pas sekali dengan malam "Jumat Kliwon". Meskipun di luar sana banyak pro dan kontra tentang perayaan malam tahun baru ini. Kita disini lebih baik melihat sepintas lalu tentang sejarah Sistem Penanggalan ini dari masa ke masa.

Kalender “Masehi” merupakan kalender paling populer di antero bumi, oleh karena itu semua perhitungan penanggalan sejarah dunia, acuannya adalah tahun “0” Masehi. Kita menyebutnya Masehi karena kita berpikir ini ada sangkut pautnya dengan "Al-Masih", padahal asal-muasalnya tidak ada sangkut-paut dengan peristiwa “sejarah hidup” Isa Al-Masih (Yesus Kristus / Yeshua MaMashiach). Bahkan nama-nama bulannya  adalah istilah-istilah “ketuhanan” dalam kebudayaan Romawi dan Yunani.

Untuk membedahnya kita bagi dalam 3  Fase sejarah: 
(I) Kalender Julian
(II) Masa Transisi
(III) Kalender Gregorian

I. Kalender Julian
 
Julius Caesar adalah Penguasa Romawi yang sangat fenomenal, hal itu terbukti nama belakangnya indentik dengan kekuasaan yaitu “Caesar”, sehingga nama tersebut menjadi gelar sebutan “Penguasa Romawi”. Maka untuk melihat dengan runut, kita harus kilas balik ke belakang tentang Kekuasaan (Kekaisaran) Roma.


A. Romulus, pendiri kota Roma; adalah saudara kembar Romus (mati di bunuh). Mereka ini adalah anak Mart si Dewa Perang yang kawin dengan  manusia dan  dibesarkan oleh seekor anjing hutan betina.  Sebagai Penguasa (Kaisar) Roma lalu membuat Kalender dengan cara menjiplak Kalender Mesir apa adanya, dan hanya mengganti nama bulannya saja:

1. Mart (Nama ayahnya sebagai bulan pertama, 30 hari).
2. Aprilis (29 hari).
3. Meius (Dewi Maya, 30 hari).
4. Junius (Juno=Dewi Bulan, 29 hari).
5. Quintilis (Ratu / Penguasa, 30 hari).
6. Sestilis (Ses=Enam, 29 hari).
7. Septembre (Septo=Tujuh, 30 hari).
8. Oktobre (Oktav=Delapan, 29 hari).
9. Novembre (Nova=Sembilan, 30 hari).
10. Decembre (Deca=Sepuluh, 29 hari).
Maka dalam setahun berjumlah 304 hari.


B. Numa, Kaisar ini mengamati kalender Romulus dirasa kurang cocok berkenaan dengan musim, maka dia menambahkan dua masa sebagai bulan ke 11 dan 12, yaitu:
11. Januarius (Janus=Dewa bermuka dua, mulai datangnya musim salju, 30 hari).
12. Februarius (Febro=Dewa Kematian, 29 hari, puncak musim salju dan  tanaman yang bertahan hidup adalah “rumpun” cemara).
Maka dalam setahun berjumlah 355 hari.

C. Julius Caesar (sekitar tahun 46 Sebelum “Masehi”), membuat perombakan frontal, Nama dirinya dimasukkan dalam kelender menggantikan bulan Quintilis (Ratu / Penguasa). Kebesaran Dewa Mart di geser, Dewa Bermuka Dua Si Janus ditaruh pada tempat terhormat, yaitu bulan pertama. Karena dalam setiap lintasan tahun yang memegang kendali adalah Dewa yang bisa melihat masa depan dengan tetap mempertimbangan masa lalu, yaitu Janus. Tahun baru adalah sesuatu yang senantiasa diharap-harap dan dinantikan, sebagai pintu gerbang rahasia nasib,  akhirnya dalam urutan bulan terjadi perubahan :
1. Januarius ( 31 hari).
2. Februarius (29 / 30 hari).
3. Mart (30 hari).
4. Aprilis (30 hari).
5. Meius (31 hari).
6. Junius (31 hari).
7. Julius (31 hari).
8. Sestilis ( Ses=Enam, 30 hari).
9. Septembre (Septo=Tujuh, 30 hari).
10. Oktobre (Oktav=Delapan, 30 hari).
11. Novembre (Nova=Sembilan, 31 hari).
12. Decembre (Deca=Sepuluh, 30 hari).
Maka dalam setahun menjadi 364 / 365 hari.

D. Agustus (keponakan Julius Caesar), juga melakukan perubahan tapi tidak begitu berarti: hanya nama dirinya dimasukkan, menggantikan nama bulan Sestilis.

Akhirnya kalender  ini terkenal dengan Kalender Julian, Kesakralan Julius terhadap Pribadi Janus Dewa Bermuka Dua sangat diutamakan.

Umat Kristiani, pada malam tahun baru biasanya melakukan ibadah penutupan dan pembukaan tahun. Mereka biasanya juga membuat semacam undian yang berisi petikan ayat Alkitab, dimana mereka akan mengambil satu persatu dengan "iman".

II. Masa Transisi.

Pada saat kekristenan menjadi populer di wilayah kekuasaan Romawi, atas Perintah Justinian Sang Penguasa, Rahib (Pendeta) Dionysius Exiguus disuruh me”nera” kapan Mesias lahir, dan tanggal tersebut akan dinyatakan sebagai tahun “0” sebagai perhitungan awal kalender Sang Mesias.  Maka saat itulah dinyatakan sebagai tahun 526 Masehi, karena waktu itu berdasarkan perhitungan Sang Rahib adalah tahun 753 Julian.
Kalender produk Rahib Dionysius terlajur dipublikasikan, ternyata ada kesalahan dalam perhitungan, lalu ada yang menghitung ulang “bahwa pada tahun tersebut dalam kalender Julian adalah tahun 749”. Akhirnya perhitungan yang dipercaya sampai sekarang adalah Isa Al-Masih (Yesus Kristus / Yeshua HaMashiach) lahir pada Tahun 4 Sebelum Masehi, bukan tahun “0”.

III. Kalender Gregorius
Tahun 1582 Masehi, Paus Gregorius membuat “gebrakan” yang spekatuler, Format Kalender Julian (Julius Caesar) yang diabadikan oleh Rahib Dionysius, perhitungan jumlah hari dalam setiap bulan diperbaharui berdasarkan “Ilmu Alam.”

Bulan Ke 10 yaitu: hari kamis tanggal 4 Oktober lalu besoknya tetap hari jum’at, tapi tanggalnya 15 Oktober. Jadi dalam sejarah tidak pernah ada tanggal 5-14 Oktober 1582(The Standart Dictionary, cetakan 1907”, Universal Calendar for every year of the Christian era”).
 
Sehingga menjadi seperti berikut:
1. Januari (31 hari).
2. Februari (biasa 28 hari / kabisat 29 hari).
3. Mart (31 hari).
4. April (30 hari).
5. Mei (31 hari).
6. Juni (30 hari).
7. Juli (31 hari).
8. Agustus (31 hari).
9. September (30 hari).
10. Oktober (31 hari).
11. November (30 hari).
12. Desember (31 hari).
 
Kalender inilah yang dipakai sampai sekarang, oleh karena itu biasa disebut Kalender Gregorian karena produk Paus Gregorius, ada yang menyebut kalender Masehi karena produk rohaniwan “gereja”  yang identik dengan kristiani atau mengacu pada arah tanggal kelahirannya Sang Mesias / Al-Masih.

Mengenai tanggal kelahiran Sang Mesias / Al-Masih dalam lingkungan intern Umat Kristiani, perayaan Natal baru dimulai pada sekitar tahun 200 M di Aleksandria (Mesir). Para teolog Mesir menunjuk tanggal 20 Mei tetapi ada pula pada 19 atau 20 April. Di tempat-tempat lain perayaan dilakukan pada tangal 5 atau 6 Januari; ada pula pada bulan Desember. Perayaan pada tanggal 25 Desember dimulai pada tahun 221 oleh Sextus Julius Africanus, dan baru diterima secara luas pada abad ke-5.

Ada berbagai perayaan keagamaan dalam masyarakat non-Kristiani pada bulan Desember. Dewasa ini umum diterima bahwa perayaan Natal pada tanggal 25 Desember adalah penerimaan ke dalam gereja tradisi perayaan non-Kristen terhadap (dewa) matahari: Solar Invicti (Surya tak Terkalahkan), dengan menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Sang Surya Agung itu sesuai berita Alkitab.

Beberapa hari yang lalu (tanggal 25 Desember), Umat Kristiani merayakan hari Natal sesuai dengan Kalender Gregorian. Dan nanti sekitar tanggal 6/7 Januari, Umat Kristen Ortodok baru merayakan Natal (menurut perhitungan kalender Julian).

Dengan melihat sejarah ini, kita bisa melihat asimilasi dan akulturasi budaya dalam Kekristenan sebagaimana asimilasi dan akulturasi budaya yang terjadi dalam masyarakat Jawa.

Sumber:
www.alfa-omega.or.id
https://en.wikipedia.org/wiki/Calendar
https://en.wikipedia.org/wiki/Christmas 

Selasa, 29 Desember 2015

Mengenal Aksara Incoung Kerinci Versi William Marsden


Hingga saat ini, penelitian dan penggalian tentang Surat Incoung Kerinci belumlah tuntas, sehingga belum ada yang bisa dijadikan standar atau bentuk baku dari Surat Incoung. Oleh karena itu mari kita tinjau kembali penelitian terdahulu tentang Surat Incoung ini. 

Surat Incoung adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh sekelompok etnis Suku Kerinci yang berada di sebelah barat Propinsi Jambi, yang berbatasan dengan Propinsi Bengkulu dan Sumatra Barat. Wilayah pemakai aksara ini sekarang meliputi Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh (Pemekaran Kabupaten Kerinci).

Di Kerinci aksara ini dikenal dengan nama Surat Incoung. Sebenarnya ada banyak cara penyebutan untuk aksara ini, tergantung dialek masing-masing kelompok subetnis di Kerinci, diantaranya “Incong”, “Incung”, “Incoung”, “Incaung”, dan “Inceung”. Perlu di ketahui bahwa bahasa Kerinci termasuk kelompok bahasa Melayu Sumatera Tengah, namun mempunyai keunikan tersendiri karena memiliki sangat banyak variasi hingga lebih dari 100 macam dialek, walau hanya dalam satu kabupaten saja. Penyebutan ‘aksara” pun juga tidak lazim di sini, tetapi disebut dengan ‘Surat’. Jadi defenisi ‘surat’ disini sama dengan defenisi ‘letter’ dalam bahasa Inggris yang bermakna ganda yaitu ‘huruf’ dan ‘surat/naskah’.

Surat Incoung diperkirakan sudah dipergunakan sejak zaman kerajaan Sriwijaya dan tidak dipergunakan lagi sejak pertengahan abad ke-19, sejalan dengan pesatnya perkembangan agama Islam dan makin luasnya penggunaan aksara Jawi di Kerinci. Pada tahun 1835, William Marsden, seorang Inggris yang pernah bekerja di EIC dan ditempatkan di Bengkulu, juga pernah meneliti dan menuliskan tentang aksara ini dalam “On the Polynesian, or East insular Languages” (Miscellaneous Works of William Marsden, 1835). Setelah itu tidak ada lagi penelitian lanjutan tentang aksara ini, dan penggunaan aksara ini kemudian mulai ditinggalkan oleh orang Kerinci sehingga sempat dianggap punah, dan sudah terlupakan serta tidak ada lagi yang bisa membacanya, hingga akhirnya misteri tsb berhasil dipecahkan kembali oleh L.C. Westenenk pada tahun 1922.

Menurut tulisan William Marsden tersebut, aksara Kerinci ini diperoleh atau dipelajarinya dari seorang guru pribumi (asal Kerinci ?). Tulisan tersebut juga disertai plat gambar berisi Susunan aksara (Alphasilabari) Kerinci yang terdiri dari 29 aksara atau surat. Namun Berbeda dengan Aksara Rejang atau aksara Rencong lainnya, urutannya tidak sesuai sebagaimana kelaziman aksara turunan India yang dimulai dengan urutan Ka, ga, nga, dst, tetapi dimulai dengan Ta, na, sa, dst. Hanya saja dalam alphasilabari tsb tidak terdapat aksara /da/ dan /mba/. Tidak diketahui apa sebabnya hal ini terjadi, apakah sang guru pribumi tsb tdk mengetahuinya ataukah karena alasan lainnya.

Namun dari informasi singkat yang ditulis William Marsden ini, terdapat beberapa hal yang selama ini tidak/jarang diketahui oleh masyarakat banyak, termasuk oleh L. C. Westenenk (1922) yang juga pernah membuat format baru Alphasilabari Surat Incoung ini dengan urutan Ka Ga Nga sebagaimana aksara Rejang maupun aksara Rencong lainnya. Diantaranya adalah adanya dikenalkan beberapa karakter surat yang termasuk kategori jarang digunakan, tetapi ternyata memang ada dan dipergunakan dalam sebagian naskah kuno Surat Incoung. Aksara atau surat tersebut antara lain /Aha/, /Hia/ dan /Hha/.

Sumber :

Jumat, 18 Desember 2015

Bima (Nggahi Mbojo)

Bima, or Bimanese, is a Malayo-Polynesian language spoken in the eastern half of Sumbawa Island in Indonesia by about 500,000 people. It is closely related to the languages of Sumba Island. 

Bima alphabet (Aksara Bima / Aksara Mbojo)

 Bima



The Bima(nese) script is used to write Bima, and is related to the Buginese script. This script has been used since the 14th century, and was used to write books and royal records in the Bima Kingdom. During the 17th century, when the Bima people became Muslim, they started using Malay written with the Arabic script. 

The research on Bimanese Literacy was initiated by Hj. Siti Maryam R Salahuddin, a princess of the last Sultan of Bima. The research started from the time that she founded the Bimanese script in a record by Zollinger (1850) and a record by Raffless (1978) which were obtained from the Perpustakaan Nasional RI (Indonesian National Library) in Jakarta in 1987. In 1990-1991 a study was conducted to describe the content of a copy of a palm-leaf manuscript from Leiden which bought by J. Noorduyn, a Professor of Buginese language from Leiden University, based on those script records. A team was formed to continue the research consisting of Hj. Siti Maryam, Syukri Abubakar, and Munawar Sulaiman. The wrote about their findings in a book entitled "Aksara Bima, peradaban lokal yang sempat hilang" (Bimanese Script, a local civilization that had disappeared). 

Notable features


  • Type of writing system: Abugida - each consonant (aksara) has an inherent vowel. Other vowels can be indicated using diacritics which appear above, below, before or after the consonant letter
  • Direction of writing: right to left in horizontal lines.
  • Used to write: Bima(nese)

 

Main characters


Bima alphabet (Aksara Bima) - main characters

 

Vowels


Bima alphabet (Aksara Bima) - vowels

 

Nasalization


There are some nasal sounds in the Bima language. Some of them have their own letter: mpa, nca, nta, nga, while others can become nasal depending on the context of the sentence: mba -> ba; nda -> da; ngga -> ga.

Bima alphabet (Aksara Bima) - nasalization

The consonants Q, V, X, and Z do not exist in the Bimanese script and are replaced by those with a similar sound.

  • Q -> K
  • V -> F
  • X -> (Bimanese possibly has no words which use this consonant)
  • Z -> J

 

Diacritics


Bima alphabet (Aksara Bima) - diacritics

  • The repeat sign, which is like the Arabic numeral "two" (٢) indicates that a word is read twice.
  • The virama can be appear above or below a letter.

 

Sample text


Sample text in the Bima alphabet

 

Transliteration


Dowu ma pertama mabade warana aksara mbojo ededu putri Maryam R Salahuddin deyi salelana kertas ma tunti kayi aksara mbojo mamayi ta dowu Belanda.

 

Translation


The first person who knew about the existence of Bimanese script was princess Maryam R Salahuddin from a record written in Bimanese script by a Dutch researcher. 

Information mainly supplied by Ridwan Maulana 

Information about Bima

Minggu, 13 Desember 2015

Mengenal Aksara Incoung Kerinci Versi L. C. Westenenk


Semenjak dipublikasikannya tulisan tentang Surat Incoung pertama kali oleh William Marsden pada tahun 1834, setelah itu boleh dikatakan tidak ada lagi penelitian selanjutnya hingga akhirnya muncul tulisan L. C. Westenenk yang berjudul "Rèntjong-schrift II: beschreven hoorns in het landschap Krintji" dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 61 (1922).

Penelitian Westenek ini mengacu kepada salinan beberapa naskah yang dibuat oleh Edward Jacobson, seorang naturalis yang pada tahun 1915 mengadakan penelitian di Kerinci. Disela-sela waktu penelitian tentang alamnya, Jacobson mendapat informasi bahwa di Kerinci terdapat banyak pusaka-pusaka masyarakat lokal berupa naskah-naskah beraksara kuno dimana sudah tidak ada lagi yang bisa membacanya. Akhirnya Jacobson berhasil membujuk pemilik naskah-naskah tersebut dan menyalinnya dengan menjanjikan bahwa masih ada orang yang bisa membacanya. Alhasil terkumpullah sebanyak 27 salinan naskah kuno Kerinci beraksara incoung dari berbagai wilayah Mendapo (Nama pemerintahan/wilayah adat setingkat Kecamatan) di Kerinci.

Pada kenyataannya, Jacobson sudah berupaya untuk membaca salinan naskah-naskah beraksara incoung tersebut, akan tetapi tidak berhasil. Akhirnya Jocobson meminta bantuan seorang temannya, L. C. Westenenk yang pada saat itu menjabat sebagai Residen Bengkulu, untuk membantu memecahkan misteri salinan naskah beraksara incoung tersebut. Westenenk sendiri tidak pernah ke Kerinci, meskipun sempat berencana melakukan penelitian lebih lanjut ke Kerinci, namun karena kesibukannya rencana tersebut tidak terlaksana.

Dengan berbekal pengalaman sebelumnya yang pernah mentransliterasikan naskah Rencong dari daerah Lubuk Blimbing di Bengkulu pada tahun 1919, dan telah dipublikasikan dengan judul "Aanteekeningen omtrent het hoornopschrift van Loeboek Blimbing (Benkoelen)", Westenenk mempelajari salinan naskah yang diberikan oleh Jacobson, dan akhirnya dia berhasil mentransliterasikan naskah-naskah tersebut dengan memperbandingkan Surat Incoung Kerinci dengan Surat Rencong di Bengkulu.

Dalam tulisan Rèntjong-schrift II tersebut, Westenenk juga membuat daftar susunan Surat Incoung tersebut sebagaimana urutan aksara Rejang yang dimulai dengan aksara Ka, Ga, Nga, dst., yang semuanya berjumlah 28 aksara, dimana beberapa diantaranya terdapat beberapa varian hingga 3 macam. Diakritik untuk bunyi vokal ada 2 yaitu tanda untuk merubah bunyi vokal ‘a’ dibelakang bunyi konsonan suatu aksara (silaba) menjadi bunyi vokal ‘i’ dan ‘u’, serta terdapat 3 diakritik lainnya untuk ‘h’, ‘ng’, dan tanda bunuh. Selain itu juga dilengkapi dengan beberapa contoh aplikasi tulisan atau kata yang ditulis dengan aksara incoung beserta transliterasi huruf latinnya..

Meskipun Westenenk mengkritisi dan menyalahkan susunan abjad/Alpha Silabari dan beberapa karakter Surat Incoung yang dibuat William Marsden (1834), tetapi hal ini ditanggapi oleh Petrus Voorhoeve (1941) bahwa versi Marsden tersebut tidaklah terlalu banyak salah sebagaimana yang disangkakan oleh Westenenk, karena apa yang ditulis oleh Marsden lebih banyak merupakan karakter surat incoung yang ditulis pada naskah bambu, sedangkan versi Westenenk lebih banyak berdasarkan karakter/aksara pada naskah tanduk. Westenenk juga berkesimpulan bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dialek Minangkabau. Mungkin Westenenk mengacu kepada tulisan-tulisan pada masa itu yang banyak mengelompokkan etnis Kerinci kepada kelompok Minangkabau.

Jika dibandingkan dengan Surat Incoung versi William Marsden (1934), terdapat perbedaan jumlah aksara, dimana pada versi Westenenk berjumlah 28 aksara tetapi tidak terdapat aksara /a.ha/, /hia/ dan /hha/, sedangan pada versi Marsden berjumlah 29 aksara tetapi tidak terdapat aksara /da/ dan /mba/.

Pada saat ini, Surat Incoung versi Westenenk ini lebih popular dan terkesan telah menjadi bentuk baku untuk formulasi Surat Incoung. Diantaranya juga dimuat dalam bagian akhir Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi IV dan dalam beberapa tulisan ilmiah lainnya. Padahal masih banyak yang harus dikoreksi lagi, terutama berkaitan dengan jumlah aksara dan kebenaran atau ketepatan karakter/aksaranya, bahasa yang digunakan serta kajian-kajian filologi lainnya.

Sumber :