Minggu, 13 Desember 2015

Mengenal Aksara Incoung Kerinci Versi L. C. Westenenk


Semenjak dipublikasikannya tulisan tentang Surat Incoung pertama kali oleh William Marsden pada tahun 1834, setelah itu boleh dikatakan tidak ada lagi penelitian selanjutnya hingga akhirnya muncul tulisan L. C. Westenenk yang berjudul "Rèntjong-schrift II: beschreven hoorns in het landschap Krintji" dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 61 (1922).

Penelitian Westenek ini mengacu kepada salinan beberapa naskah yang dibuat oleh Edward Jacobson, seorang naturalis yang pada tahun 1915 mengadakan penelitian di Kerinci. Disela-sela waktu penelitian tentang alamnya, Jacobson mendapat informasi bahwa di Kerinci terdapat banyak pusaka-pusaka masyarakat lokal berupa naskah-naskah beraksara kuno dimana sudah tidak ada lagi yang bisa membacanya. Akhirnya Jacobson berhasil membujuk pemilik naskah-naskah tersebut dan menyalinnya dengan menjanjikan bahwa masih ada orang yang bisa membacanya. Alhasil terkumpullah sebanyak 27 salinan naskah kuno Kerinci beraksara incoung dari berbagai wilayah Mendapo (Nama pemerintahan/wilayah adat setingkat Kecamatan) di Kerinci.

Pada kenyataannya, Jacobson sudah berupaya untuk membaca salinan naskah-naskah beraksara incoung tersebut, akan tetapi tidak berhasil. Akhirnya Jocobson meminta bantuan seorang temannya, L. C. Westenenk yang pada saat itu menjabat sebagai Residen Bengkulu, untuk membantu memecahkan misteri salinan naskah beraksara incoung tersebut. Westenenk sendiri tidak pernah ke Kerinci, meskipun sempat berencana melakukan penelitian lebih lanjut ke Kerinci, namun karena kesibukannya rencana tersebut tidak terlaksana.

Dengan berbekal pengalaman sebelumnya yang pernah mentransliterasikan naskah Rencong dari daerah Lubuk Blimbing di Bengkulu pada tahun 1919, dan telah dipublikasikan dengan judul "Aanteekeningen omtrent het hoornopschrift van Loeboek Blimbing (Benkoelen)", Westenenk mempelajari salinan naskah yang diberikan oleh Jacobson, dan akhirnya dia berhasil mentransliterasikan naskah-naskah tersebut dengan memperbandingkan Surat Incoung Kerinci dengan Surat Rencong di Bengkulu.

Dalam tulisan Rèntjong-schrift II tersebut, Westenenk juga membuat daftar susunan Surat Incoung tersebut sebagaimana urutan aksara Rejang yang dimulai dengan aksara Ka, Ga, Nga, dst., yang semuanya berjumlah 28 aksara, dimana beberapa diantaranya terdapat beberapa varian hingga 3 macam. Diakritik untuk bunyi vokal ada 2 yaitu tanda untuk merubah bunyi vokal ‘a’ dibelakang bunyi konsonan suatu aksara (silaba) menjadi bunyi vokal ‘i’ dan ‘u’, serta terdapat 3 diakritik lainnya untuk ‘h’, ‘ng’, dan tanda bunuh. Selain itu juga dilengkapi dengan beberapa contoh aplikasi tulisan atau kata yang ditulis dengan aksara incoung beserta transliterasi huruf latinnya..

Meskipun Westenenk mengkritisi dan menyalahkan susunan abjad/Alpha Silabari dan beberapa karakter Surat Incoung yang dibuat William Marsden (1834), tetapi hal ini ditanggapi oleh Petrus Voorhoeve (1941) bahwa versi Marsden tersebut tidaklah terlalu banyak salah sebagaimana yang disangkakan oleh Westenenk, karena apa yang ditulis oleh Marsden lebih banyak merupakan karakter surat incoung yang ditulis pada naskah bambu, sedangkan versi Westenenk lebih banyak berdasarkan karakter/aksara pada naskah tanduk. Westenenk juga berkesimpulan bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dialek Minangkabau. Mungkin Westenenk mengacu kepada tulisan-tulisan pada masa itu yang banyak mengelompokkan etnis Kerinci kepada kelompok Minangkabau.

Jika dibandingkan dengan Surat Incoung versi William Marsden (1934), terdapat perbedaan jumlah aksara, dimana pada versi Westenenk berjumlah 28 aksara tetapi tidak terdapat aksara /a.ha/, /hia/ dan /hha/, sedangan pada versi Marsden berjumlah 29 aksara tetapi tidak terdapat aksara /da/ dan /mba/.

Pada saat ini, Surat Incoung versi Westenenk ini lebih popular dan terkesan telah menjadi bentuk baku untuk formulasi Surat Incoung. Diantaranya juga dimuat dalam bagian akhir Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi IV dan dalam beberapa tulisan ilmiah lainnya. Padahal masih banyak yang harus dikoreksi lagi, terutama berkaitan dengan jumlah aksara dan kebenaran atau ketepatan karakter/aksaranya, bahasa yang digunakan serta kajian-kajian filologi lainnya.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar