Sabtu, 02 April 2022

Dari FB: Mardikawi Jawa Baru




Copas dari Bayu Nerviadi - Admin

Keraguan Penulisan Bahasa Jawa Baru dengan Tata Tulis Kawi (Mardikawi)

Keragu-raguan menulis bahasa Jawa Baru dengan tata tulis Kawi (Mardikawi), disebabkan terutama karena adanya pembakuan oleh Kongres Sriwedari (1922). Pembakuan penulisan aksara Jawa ini memberikan perbedaan antara BUNYI UCAPAN (pengucapan) dengan PENULISAN aksara Jawanya.

Contoh :
sebelah kiri adalah pengucapan, dan sebelah kanan adalah penulisan aksara Jawa hasil pembakuan Sriwedari (SEHARUSNYA ditulis dengan AKSARA JAWA, tapi dalam hal ini terpaksa saya tulis dengan huruf Latin (berdiakritik) saja supaya jelas maksudnya).

- kåncå ditulis koñca

- pĕrlu ditulis pṛĕlu

- sĕgårå ditulis sagara

- mĕnåwå ditulis manawa

- dwipurwa : lĕlårå, jĕjåkå, bĕbanyu, kĕkonang, wěwaton ditulis lalara, jajaka, babanyu, kokonang, wawaton

- dwita pada konsonan kata dasar ketika diberi akhiran tertentu (sebut saja dwita panambang), seperti : panganan, panulisé ditulis pangannan, panulissé

- dan masih banyak pembakuan lainnya.

Untuk penulisan bahasa Jawa Baru dengan huruf Latin, tidak terlalu berbeda jauh.

Pembakuan oleh Sriwedari ini menyebabkan keragu²an dalam penulisan bahasa Jawa Baru dengan tata tulis Kawi (Mardikawi), contoh mudahnya :

- untuk dwita panambang, biasanya pada tata tulis Kawi ditulis tanpa dwita, misal : panganan, panulisé ya ditulis panganan (tanpa double n) dan panulise (tanpa double s).

Memang ada beberapa ditemukan dalam prasasti, penulisan dengan dwita panambang, tapi itu "tidak banyak" digunakan.

Istilah "tidak banyak" ini menyebabkan keraguan lagi. Ya seperti misalnya, saat ini saya menulis artikel yang bermutu (éthok²-é) beraksara Jawa tapi ditulis dengan nylĕnèh, misalnya saya tulis aksara "ra" dipasangi di tengah kata, lalu 100 tahun kemudian tulisan saya ditemukan oleh orang lain, lalu mereka bisa saja mengatakan : "Lihat, ini contoh tulisan aksara Jawa yang ternyata ada aksara "ra" dipasangi..."

Dan lalu mengatakan, "Ini membuktikan bahwa aksara "ra" bisa dipasangi, kami menemukan bukti tertulis berusia 100 tahun. Materi tulisannya juga berbobot."

Nah, kan jadi mumĕt kalau begitu kan?

Kembali ke topik, kalau sekiranya bahwa penulisan dwita panambang saja dengan tata tulis Kawi (Mardikawi) saja sudah "nyebal" atau tidak mengikuti PEMBAKUAN oleh Sriwedari, lalu apakah untuk menulis kata² lainnya harus mengikuti pembakuan Sriwedari?

Termasuk menulis misalnya : kanca, segara, tembung² dwipurwa, dll. yang penulisan aksara Jawanya telah dibakukan oleh Sriwedari yang membedakan antara : bagaimana tembung itu diucapkan (bunyinya) dengan penulisannya?

Inilah yang saya sebut keragu-raguan.

Zoetmulder dalam Kalangwan menyebutkan tentang bahasa Jawa Kuno, "... bahwa banyak masalah belum dapat dipecahkan dan KEPASTIAN YANG DAPAT KITA ANDALKAN sedikit sekali."

Ini akan berkaitan dengan hal berikut :

Apakah kata² dalam penulisan tata tulis KAWI yang ada di prasasti berbahasa Jawa Kuno, ditulis berdasarkan PENGUCAPANNYA (bunyinya) atau saat itu sudah ada PEMBAKUAN, sehingga apa yang ditulis dalam prasasti BISA BERBEDA dengan yang mereka ucapkan sendiri jaman itu?

Zoetmulder sendiri menulis "... kita tidak tahu bagaimana pengucapannya oleh orang² jaman itu, tetapi SANGAT KURANG MASUK AKAL bahwa versi LISAN Jawa Kuno itu demikian jauh berbeda dengan versi tertulisnya ..."

Ketika ada argumentasi yang mengatakan bahwa kosa kata bahasa Jawa Kuno masih dipakai oleh masyarakat modern jaman ini di beberapa daerah, itu tidak bisa menjamin bahwa apa yang mereka ucapkan saat ini sama dengan pengucapan jaman dahulu. Sudah melewati waktu ratusan tahun (5-6 abad lebih) yang tentu saja bisa mengubah banyak hal termasuk cara kata itu diucapkan.

Maka, ketika saya menulis Bahasa Jawa Baru dengan menggunakan tata tulis Kawi (Mardikawi), tidak serta merta lalu harus memakai PEMBAKUAN yang dilakukan oleh Kongres Sriwedari, alasannya jelas, ketidakpastian antara apa yang ditulis dengan apa yang diucapkan dalam tata tulis Kawi berbahasa Jawa Kuno sulit dibuktikan.

Bisa jadi ada kesimpulan terbalik adalah bahwa apa yang ditulis dengan tata tulis Kawi berbahasa Jawa Kuno itu adalah simbol dari pengucapannya. Bisa jadi demikian bukan? Karena memang sulit dibuktikan. Native speaker Jawa Kuno sudah punah sejak abad 15-16 ketika memasuki jaman Bahasa Jawa Pertengahan.

Kurun waktu 5-6 abad, sulit sekali mencari kebenaran hakiki, semuanya serba praduga dan hipotesa.

Maka, ketika saya menulis Bahasa Jawa Baru dengan tata tulis Kawi (Mardikawi), saya menggunakan prinsip penulisan dari apa yang diucapkan, walaupun ini juga pasti menjadi rancu. Seperti misalnya pengucapan (dan pasti mempengaruhi cara penulisan aksaranya) untuk suara vokal a jejeg Jawa Kuno dengan a jejeg saat ini. Apakah sama atau beda?

Katanya, pengaruh Mataram Kuno membawa perbedaan tersebut, dimana wilayah kekuasaan Mataram menyuarakan a jejeg dengan å, sementara daerah pinggiran yang kurang mendapat perhatian pusat, masih mempertahankan bunyi a jejeg dengan bunyi a seperti pada kata "kakak" dan tidak pula "tercemar" dengan kasta bahasa seperti Ngoko dan Krama. Dimana yang terakhir ini diduga mempertahankan pengucapan berdasarkan warisan kosa kata Jawa Kuno.

Tapi, kembali kepada keterangan di atas, bahwa segala hal yang berbau kuno dan sejarah, tidak ada yang memiliki kepastian, semuanya serba bersifat praduga dan hipotesa, bahkan setelah mempelajari naskah² yang ada, tetap saja para sejarawan tidak ada yang berani mengatakan bahwa hasil analisa mereka memberikan kesimpulan yang pasti. Tetap dugaan dan hipotesa.

Kesimpulan berdasarkan penjabaran argumentasi di atas (tentu bisa ada pembantahan terutama oleh para pakar sejarah dan ahli tata bahasa Jawa Kuno), yaitu bahwa saat saya menulis bahasa Jawa Baru dengan tata tulis Kawi (Mardikawi), maka :

1. saya tidak harus mengikuti pembakuan² dari Konggres Sriwedari untuk kata² yang dalam pergaulan sehari² diucapkan demikian. Contoh:

- ater² purusa "dak", karena lidah saya mengucapkan "tak", maka akan saya tulis "tak".

- dwipurwa dan tembung 3 wanda (yang dibakukan Sriwedari), saya tulis pula sesuai dengan cara pengucapannya : wewaton, geguritan, segara, ketara, dll.

2. Swara "a" jejeg yang disuarakan å, tetap ditulis nglegena, ini bukan pembakuan Sriwedari, karena naskah Pra Sriwedari juga semuanya ditulis begitu.

3. Demikian juga untuk menulis tembung lingga yang diberi ater², seselan dan panambang, juga akan saya tulis sesuai dengan apa yang dibunyikan, tidak harus mengikuti PEMBAKUAN dari Konggres Sriwedari.

Pertama, saya memberanikan diri menulis ini karena belum ada kongres yang menetapkan tata cara penulisan bahasa Jawa Baru dengan cara menulis berdasarkan tata tulis Kawi (Mardikawi), kalau sudah ada pembakuan dengan kongres, tentu saya akan mengikutinya.

Kedua, untuk penulisan dengan paugeran Sriwedari, KBJ, dan KAJ, tentu HARUS mengikuti pembakuan yang telah ditetapkan.

Ketiga, jika saya menulis banyak artikel, naskah dan buku² berbahasa Jawa Baru dengan tata tulis Kawi (Mardikawi), berdasarkan cara saya di atas, maka beberapa puluh tahun atau ratus tahun ke depan (jika masih ada dokumennya), maka tata tulis saya ini BISA SAJA menjadi patokan penulisan.

Oleh karena itu, jika ingin membuat argumentasi, hanya satu caranya : tulislah naskah dan artikel bermutu sebanyak²-nya untuk bisa mengimbangi itu.
Yuk... mari menulis.

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." - Pramudya Ananta Toer

Nuwun.
#mardikawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar