Bertahan dan tetap eksisnya aksara
Jawa hingga saat ini, tentu bukanlah hal yang kebetulan semata, sebuah
hasil teknologi yang dikembangkan pada masa lampau, dan mampu mengangkat
budaya Jawa berada pada level yang bisa dibilang maju, karena bahasa
Jawa hadir dengan aksara sendiri, tata tulis sendiri.
Keberadaan aksara Jawa yang telah
melintasi kurun waktu dengan kondisi jaman yang berbeda, tentu saja
membawa warna tersendiri bagi perkembangan aksara itu sendiri. Corak
langgam, serta tata tulis, jelas tidak bisa dilepaskan begitu saja
terhadap pengaruh serta keberadaan pusat kerajaan dan pengaruhnya dengan
dunia barat yang lambat laun mendominasi kehidupan, sosial, budaya
masyarakat Jawa.
Bagi kita yang mungkin tertarik dengan
keberadaan aksara Jawa, dan tetap ingin menggunakan aksara Jawa,
meskipun pada kenyataannya kita suku Jawa, sudah tidak lagi menggunakan
aksara Jawa dalam kehidupan sehari – hari, karena sejak semakin surutnya
pengaruh politik raja – raja Jawa oleh dominasi kolonialis Belanda,
Indonesia yang kemudian menjadi pelabuhan dalam bernegara menggunakan
aksara Latin sebagai aksara resmi, maka dengan demikian sudah barang
tentu menjadi keharusan bagi orang Jawa untuk juga menggunakan aksara
Latin, dan melepas aksara mereka sendiri.
Di era sekarang, mulai banyak bermunculan
generasi penerus yang peduli dan rindu akan keberadaan aksara Jawa,
namun karena telah begitu lama tertidur, maka keberadaan aksara Jawa
dengan tata penulisannya pun semakin beragam dan disusun sedemikian rupa
sehingga diharapkan bisa lebih memudahkan kita menggunakan lagi aksara
peninggalan tersebut. Paling tidak pedoman penulisan aksara Jawa yang
dibukukan dan dianggap resmi sebagai pedoman penulisan aksara Jawa yang
pernah ada dan kita kenal antara lain :
1. Pedoman penulisan aksara Jawa Mardi Kawi
Ditilik dari penggunaan nomenklatur pedoman ini jelas sekali, Mardi dalam kamus atau Baoesastra Djawa diartikan mulang wuruk
yaitu belajar, mempelajari Kawi, Kawi dalam konteks ini tentu saja
bagian dari bahasa serta tata tulis yang digunakan pada bahasa Jawa Kuna
dan Pertengahan, penggunaan bahasa dan tata tulisnya didasarkan pada
tulisan – tulisan yang terekam dalam karya Kakawin dan Kidung.
Sehingga munculnya pedoman Mardi Kawi
paling tidak sebagai pijakan untuk bisa memahami tata tulis dalam kedua
karya sastra tersebut, yaitu Kakawin dan Kidung.
Pedoman ini ditulis dan diresmikan
penggunaannya tahun 1860 (Tahun Jawa), oleh W.J.S Poerwadarminta, ditulis dengan
aksara Jawa di Yogyakarta, yang kemudian dicetak pada tahun 1930 oleh
Uitgeverij en Boekhandel – Stoomdrukkerij “De Bliksem” Solo.
2. Pedoman Penulisan Sriwedari
Pedoman ini judul aslinya Wawaton Panjeratanipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi dalasan Angka,
karena pedoman ini diresmikan penggunaannya di Sriwedari pada tahun
1928, maka pedoman penulisan ini kemudian lebih dikenal sebagai Wawaton
Sriwedari. Inti dari pedoman penulisan Sriwedari terbilang masih sedikit
banyak mengacu pada pedoman penulisan Mardi Kawi, meskipun banyak hal
yang mulai dirubah. Dasar penulisan pada pedoman ini adalah penulisan
aksara Jawa didasarkan pada bunyi pengucapan, hal ini tidak didasarkan
pada bagaimana kata – kata bahasa Jawa dituliskan dalam aksara Latin,
karena kita tahu pada dekade ini penggunaan aksara Latin belum begitu
membumi.
3. Pedoman Penulisan Hasil Konggres Bahasa Jawa II di Batu Malang II 1996
Pedoman penulisan ini muncul sebagai
akibat dari amanat Konggres Bahasa Jawa I Semarang, supaya pada Konggres
Bahasa Jawa II sudah disusun sebuah bentuk pedoman penulisan yang
dianggap paling mutakhir, tidak main – main penggunaan pedoman 1996 ini
diperkuat dengan Kesepakatan Bersama Gubernur Jawa Tengah, DIY, dan Jawa
Timur. Pedoman penulisan dekade ini merupakan pedoman penulisan yang
banyak sekali merubah tata penulisan yang ada pada Sriwedari, hal ini
terjadi karena pada pedoman penulisan 1996 ini, penulisan aksara Jawa
tidak lagi didasarkan pada pengucapan, namun lebih pada bagaimana
kosakata bahasa Jawa tersebut ditulis dalam aksara Latin, baru kemudian
dari hasil penulisan dalam aksara Latin itulah, penulisan aksara Jawanya
didasarkan.
Perhatikan perbedaan penulisan di bawah ini :
Sumber :
Setya Amrih Prasaja, S.S.
(Lingkar Jawa, Paguyuban Pecinta Aksara Jawa – Bantul)
Grup Sinau Aksara Jawa & Sinau Nulis Jawa
Setya Amrih Prasaja, S.S.
(Lingkar Jawa, Paguyuban Pecinta Aksara Jawa – Bantul)
Grup Sinau Aksara Jawa & Sinau Nulis Jawa
Mengenai: "Pedoman ini ditulis dan diresmikan penggunaannya tahun 1860, oleh W.J.S Poerwadarminta, ..." yang dimaksud mesti tahun Jawa 1860, y.i. AD1929, karea Poerwadarminta baru lahir tahun 1904.
BalasHapusTerima kasih atas koreksinya.
HapusHormat saya untuk upaya pelestarian aksara Jawa sebagai cabang kebudayaan Nusantara.
BalasHapus