(Dibutuhkan Font Aksara Jawa Unicode untuk melihat naskah secara penuh)
Bagi pengguna jawa baru, beberapa orang kesulitan untuk menuliskan CUMPLUNG KECEMPLUNG BLUMBANG GEMBLUNDHUNG KEMAMBANG, beberapa variasi dari suku kata ini juga sering digunakan untuk ujicoba. Namun bagi pengguna tata cara tulis jawa lama dan tata tulis jawa yang liberal tidak mengalami kesulitan apa-apa.
Dalam tata tulis Aksara Jawa ada yang disebut dengan istilah "Panjingan"
PANJINGAN
Panjingan dalam suatu kasus penulisan kata, akan membentuk sebuah aksara bertumpuk tiga, seperti pada contoh-contoh Koleksi Karaton Ngayugyakarta Hadiningrat berikut ini :
Jaman dulu tidak ada masalah dengan aksara yang bertumpuk-tumpuk, karena dari Pallawa dan Devanagari yang merupakan babon Aksara Kawi dan akhirnya berkembang menjadi Aksara Jawa juga menulis dengan konsonan yang bertumpuk-tumpuk.
Panjingan RA dan YA masih bisa disandhangi seperti :
ꦩꦔꦤ꧀ꦏꦿꦸꦥꦸꦏ꧀ = Mangan Krupuk
Panjingan LA dan WA tidak bisa dipasangi atau dipanjingi lagi karena akan bertumpuk-tumpuk semakin jauh ke bawah. Dalam catatan Serat Ajisaka dan Serat Wujil dan banyak contoh yang lain, panjingan LA masih bisa di-suku, namun hanya sampai suku saja, sehingga bisa menuliskan angklung, cangklung, gemblung, jemblung, kenclung, dll tanpa harus menempatkan pangkon di tengah kata yang akan membingungkan pembaca (pangkon bisa menjadi koma apabila berada di tengah kalimat).
Gemblung
Ngajak nglurug blusukkan.
Berikut contoh penggunaan pangkon ditengah kalimat, bukan sebagai koma, bukan
menghindari tumpuk tiga, juga bukan untuk rata (alignment) kanan.
Untuk kerapian penulisan memang sebenarnya bisa diuraikan saja, karena aksara kita akan lebih rapi apabila tidak bertumpuk 3,
misalnya : mangan kuwaci, adol kuwali, mangan gulali, adol gulali. Namun apabila bisa menjaga nilai estetika, kerapian dan memang memadai, bisa juga ditulis seperti di bawah ini :
Mangan Kwaci, Adol Kwali
Dalam perkembangannya dengan munculnya mesin cetak yang belum secanggih saat ini, karena dulu untuk mencetak setiap karakter harus dibuat satu plat sehingga aksara bersusun akan sangat memboroskan pembuatan plat dan itu tidak efisien, aksara bersusun 3 atau lebih juga membuat susunan aksara secara estetika juga kurang rapi, jadi muncullah peraturan baru bahwa Aksara Jawa tidak boleh bersusun tiga, karena selain memboroskan jarak spasi ke bawah juga kurang rapi.
Panjingan Wa dalam Aksara Ra
Dalam Paugeran Sriwedari Aksara NGA tidak dapat dipasangi karena akan digantikan dengan Cecak, namun dalam Cara Tradisional Aksara RA adalah satu-satunya aksara yang tidak bisa dipasangi, karena bentuknya yang kecil, Aksara Ra tidak dipasangi, tetapi dijunjung ke atas menjadi layar. Meski demikian, Aksara RA bisa dipanjingi, dan panjingan yang umum pada Aksara RA adalah Panjingan WA.
Nga-lêlêt dan Panjingan LA :
Nga-lêlêt hanya bisa menjadi pasangan, tidak bisa menjadi panjingan. Pasangan Nga-lelet selalu merupakan awal dari sebuah kata.
Bu Bardi mundhak lemu. Ngidak lemah bisa bebles.
Contoh Penulisan Nama :
Sebuah nama "DHIMAS DWI SAPUTRA". Dalam nama "Dwi" bunyi 'wa' merupakan panjingan. Jadi bisa saja dtempatkan di bawah SA. Tinggal dipilih saja mau yang warna merah atau hitam, dua-duanya benar.
Contoh lain :
Dimas Dwiyarta lagi hanisil kwaci.
Hitam : Cara Tradisional
Merah : Cara Sriwedari