“Sura dira jayaning rat
lebur dening pangastuti" adalah ungkapan bahasa Jawa yang paling saya sukai. Maknanya kurang lebih:
Keberanian, kedigdayaan dan kekuasaan dapat dikalahkan dengan panembah. Segala sifat angkara, lebur
dengan kesabaran dan kelembutan. Kata-kata bijak ini bisa kita baca
dimana-mana, bahkan ditempel dimana saja, mungkin juga yang menulis atau
menempel tidak terlalu paham artinya.
"Sura dira
jayaning rat lebur dening pangastuti" adalah bagian dari salah satu bait "Pupuh Kinanthi"
dalam "Serat Witaradya" buah karya R Ngabehi Ranggawarsita
(1802-1873) pujangga besar Kasunanan Surakarta, yang mengisahkan R Citrasoma,
putra Sang Prabu Aji Pamasa di negara Witaradya.
Selengkapnya
"Pupuh Kinanthi" tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Jagra angkara
winangun;
(2) Sudira marjayeng westhi;
(3) Puwara kasub kawasa;
(4) Sastraning
jro Wedha muni*);
(5) Sura dira jayaning rat;
(6) Lebur dening pangastuti
*) ada yang menulis (4) “Wasita
jro wedha muni”
Terjemahan
kata per kata merujuk Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939 sebagai berikut:
(1)
Jagra: Bangun (dalam pengertian
“melek”); Angkara: Angkara; Winangun: Diwujudkan (Wangun: Wujud);
(2) Sudira:
Amat berani; Marjayeng: Jaya ing,
menang dalam ... ; Westhi:
Marabahaya;
(3) Puwara: Akhirnya; Kasub: terkenal, kondang; Kawasa: Kuasa;
(4) Sastra:
Tulisan, surat-surat, buku-buku; Jro: Jero, Di dalam; Wedha: Ilmu pengetahuan,
Kitab-kitab ilmu; Muni: berbicara;
(5) Sura:
Berani; Dira: Berani, kokoh; Jaya: menang; Ningrat: Bangsawan, tetapi Ning:
Di; Rat: Jagad;
Terjemahan
bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Baris
ke 1 sd 3 menunjukkan orang yang karena keberanian dan kesaktiannya ia tidak
pernah terkalahkan, akhirnya tidak kuat memegang kekuasaan dan tumbuh sifat
angkara. Sedangkan baris ke 4 sd 6 menjelaskan bahwa menurut kitab-kitab ilmu
pengetahuan, sifat angkara tersebut dapat dikalahkan dengan kelembutan.
Di
bawah adalah kisah pendukung “Sura dira
jayaningrat lebur dening pangastuti” yang dapat dibaca pada Serat
Witaradya, tentang kesetiaan seorang istri yangt dapat mencegah niat buruk
laki-laki dengan “pangastuti”
KISAH
NYAI PAMEKAS
Alkisah
sang putra mahkota jatuh cinta kepada istri Tumenggung Suralathi yang bernama
Nyai Pamekas, seorang wanita yang sepantaran dengan dirinya. Wanita yang tidak
hanya cantik lahiriyah tetapi juga suci hatinya. Begitu gandrungnya sang
pangeran, sampai pada suatu saat Ki Tumenggung sedang dinas luar, beliau
mendatangi Nyai Pamekas yang kebetulan sedang sendirian, untuk menyatakan
maksud hatinya yang mabuk kepayang
Dengan
tutur kata lembut dan "ulat sumeh" Nyai Pamekas berupaya menyadarkan
R Citrasoma dari niat tidak baiknya, karena jelas menyeleweng dari sifat
seorang ksatria dan melanggar norma-norma kesusilaan, tetapi sang Pangeran
tetap ngotot. Nyai Pamekas mencoba ulur waktu, dengan mengingatkan bahwa ada
banyak orang disitu yang berpeluang melihat perbuatan R Citrasoma, kecuali
di"sirep" (dibuat tidur dengan ilmu sirep)
Bagi
seorang yang sakti mandraguna seperti R Citrasoma, tentu saja
me"nyirep" orang bukan hal besar. Ketika semua orang tertidur,
kembali Nyai Pamekas mengingatkan bahwa masih ada dua orang yang belum tidur
yaitu Nyai Pamekas dan R Citrasoma sendiri. Lebih dari pada itu, masih ada satu
lagi yang tidak pernah tidur dan melihat perbuatan R Citrasoma, yaitu Gusti
yang Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
R
Citrasoma terhenyak dan sadar. Minta maaf kemudian kembali ke kediamannya. Nyai
Pamekas berhasil mengatasi nafsu angkara tidak dengan kekerasan. Mungkin juga
kalau keras dilawan keras justru akan terjadi hal yang tidak baik. Kelembutan
dan kesabaran ternyata berhasil meluluhkan kekerasan.
YUDISTIRA DAN
CANDRABIRAWA
Menjelang
akhir perang Bharayuda, Yudistira dipasang untuk melawan Prabu Salya yang sakti
mandraguna dan memiliki aji-aji Candrabirawa. Berupa raksasa yang kalau dibunuh
akan hidup lagi bahkan jumlahnya menjadi berlipat ganda. Bima dan Harjuna sudah
kewalahan. Dipukul gada atau dipanah, tidak mati malah bertambah banyak.
Akhirnya Candrabirawa berhadapan dengan Yudistira, raja yang dikenal berdarah
putih, tidak pernah marah apalagi perang. Raksasa raksasa Candrabirawa tidak
dilawan.Bahkan didiamkan saja. Raksasa-raksasa Candrabirawa pun kembali ke
tuannya.
KELEMBUTAN
MAMPU MENGUASAI JAGAD
Orang
lemah lembut sering dianggap lemah. Ini masalahnya. Sehingga lebih banyak orang
yang berupaya menunjukkan kekuasaan dengan pamer kekuatan yang bermanifestasi
sebagai tindak angkara. Ia lupa bahwa sikap memberikan “pangastuti” mampu melebur tingkah yang “sura dira jaya ning rat”
Masih dalam Serat Witaradya, pupuh Kinanti R Ng Ranggawarsita
menjelaskan seperti apa manusia yang sudah mampu mengendalikan menata hawa
nafsunya sebagai berikut:
(1) Ring janma di kang
winangun;
(2) Kumenyar wimbaning rawi;
(3) Prabangkara dumipeng rat;
(4) Menang
kang sarwa dumadi;
(5) Ambek santa paramarta; (6) Puwara anyakrawati
Terjemahan
kata per kata merujuk Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939 sebagai berikut:
(1)
Ring (Maring: Kepada); Janma:
Manusia; Di (Adi: baik); Kang: Yang; Winangun: Ditata;
(2) Kumenyar: Bercahaya; Wimba:Seperti; Rawi: matahari
(3) Prabangkara: Matahari; Dumipeng: Sampai ke; Rat:
Jagad
(4) Menang: Mengalahkan; Kang: Yang; sarwa: serba; Dumadi:
Semua makhluk
(5) Ambek: Sifat; Santa: sabar; Paramarta: Adil bijaksana
(6): Puwara: Akhirnya; Anyakrawati:
Memerintah
Terjemahan
bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Pada
orang utama yang sudah mampu menata hawa
nafsunya (tidak bersifat angkara murka); Bercahaya seperti sinar matahari;
Sinarnya menerangi jagad; menguasa seluruh isi jagad; wataknya sabar, adil dan
bijaksana; Akhirnya bisa menguasai jagad (maksudnya pemerintahan).
Pangastuti (panembah) disini dapat
diartikan dengan penerapan laku-linggih dan solah muna-muni (perilaku
dan ucapan) dalam penerapan Basa Basuki.
Itulah
"Sura dira jayaning rat, lebur dening
pangastuti", yang mampu mengalahkan sifat yang mengarah ke “Adigang Adigung Adiguna”. Sebuah ajaran yang patut kita renungkan pada abad ke 21 ini.
Sumber :
(Copas dengan sedikit editan)
oooooOOOooooo