Senin, 02 Februari 2015

SURA DIRA JAYANING RAT LEBUR DENING PANGASTUTI

“Sura dira jayaning rat lebur dening pangastuti" adalah ungkapan bahasa Jawa yang paling saya sukai. Maknanya kurang lebih: Keberanian, kedigdayaan dan kekuasaan dapat dikalahkan dengan panembah. Segala sifat angkara, lebur dengan kesabaran dan kelembutan. Kata-kata bijak ini bisa kita baca dimana-mana, bahkan ditempel dimana saja, mungkin juga yang menulis atau menempel tidak terlalu paham artinya. 

"Sura dira jayaning rat lebur dening pangastuti" adalah bagian dari salah satu bait "Pupuh Kinanthi" dalam "Serat Witaradya" buah karya R Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) pujangga besar Kasunanan Surakarta, yang mengisahkan R Citrasoma, putra Sang Prabu Aji Pamasa di negara Witaradya. 


PEMAHAMAN MAKNA TEMBANG




Selengkapnya "Pupuh Kinanthi" tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Jagra angkara winangun;
(2) Sudira marjayeng westhi;
(3) Puwara kasub kawasa;
(4) Sastraning jro Wedha muni*);
(5) Sura dira jayaning rat;
(6) Lebur dening pangastuti
*) ada yang menulis (4) “Wasita jro wedha muni”

Terjemahan kata per kata merujuk Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939 sebagai berikut: 
(1) Jagra: Bangun (dalam pengertian “melek”); Angkara: Angkara; Winangun: Diwujudkan (Wangun: Wujud);
(2) Sudira: Amat berani; Marjayeng: Jaya ing, menang dalam ... ; Westhi: Marabahaya;
(3) Puwara: Akhirnya; Kasub: terkenal, kondang; Kawasa: Kuasa;
(4) Sastra: Tulisan, surat-surat, buku-buku; Jro: Jero, Di dalam; Wedha: Ilmu pengetahuan, Kitab-kitab ilmu; Muni: berbicara;
(5) Sura: Berani; Dira: Berani, kokoh; Jaya: menang; Ningrat: Bangsawan, tetapi Ning: Di; Rat: Jagad;

Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut: 
Baris ke 1 sd 3 menunjukkan orang yang karena keberanian dan kesaktiannya ia tidak pernah terkalahkan, akhirnya tidak kuat memegang kekuasaan dan tumbuh sifat angkara. Sedangkan baris ke 4 sd 6 menjelaskan bahwa menurut kitab-kitab ilmu pengetahuan, sifat angkara tersebut dapat dikalahkan dengan kelembutan.

Di bawah adalah kisah pendukung “Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti” yang dapat dibaca pada Serat Witaradya, tentang kesetiaan seorang istri yangt dapat mencegah niat buruk laki-laki dengan “pangastuti” 

KISAH NYAI PAMEKAS 

Alkisah sang putra mahkota jatuh cinta kepada istri Tumenggung Suralathi yang bernama Nyai Pamekas, seorang wanita yang sepantaran dengan dirinya. Wanita yang tidak hanya cantik lahiriyah tetapi juga suci hatinya. Begitu gandrungnya sang pangeran, sampai pada suatu saat Ki Tumenggung sedang dinas luar, beliau mendatangi Nyai Pamekas yang kebetulan sedang sendirian, untuk menyatakan maksud hatinya yang mabuk kepayang

Dengan tutur kata lembut dan "ulat sumeh" Nyai Pamekas berupaya menyadarkan R Citrasoma dari niat tidak baiknya, karena jelas menyeleweng dari sifat seorang ksatria dan melanggar norma-norma kesusilaan, tetapi sang Pangeran tetap ngotot. Nyai Pamekas mencoba ulur waktu, dengan mengingatkan bahwa ada banyak orang disitu yang berpeluang melihat perbuatan R Citrasoma, kecuali di"sirep" (dibuat tidur dengan ilmu sirep)

Bagi seorang yang sakti mandraguna seperti R Citrasoma, tentu saja me"nyirep" orang bukan hal besar. Ketika semua orang tertidur, kembali Nyai Pamekas mengingatkan bahwa masih ada dua orang yang belum tidur yaitu Nyai Pamekas dan R Citrasoma sendiri. Lebih dari pada itu, masih ada satu lagi yang tidak pernah tidur dan melihat perbuatan R Citrasoma, yaitu Gusti yang Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.

R Citrasoma terhenyak dan sadar. Minta maaf kemudian kembali ke kediamannya. Nyai Pamekas berhasil mengatasi nafsu angkara tidak dengan kekerasan. Mungkin juga kalau keras dilawan keras justru akan terjadi hal yang tidak baik. Kelembutan dan kesabaran ternyata berhasil meluluhkan kekerasan. 

YUDISTIRA DAN CANDRABIRAWA 

Menjelang akhir perang Bharayuda, Yudistira dipasang untuk melawan Prabu Salya yang sakti mandraguna dan memiliki aji-aji Candrabirawa. Berupa raksasa yang kalau dibunuh akan hidup lagi bahkan jumlahnya menjadi berlipat ganda. Bima dan Harjuna sudah kewalahan. Dipukul gada atau dipanah, tidak mati malah bertambah banyak. Akhirnya Candrabirawa berhadapan dengan Yudistira, raja yang dikenal berdarah putih, tidak pernah marah apalagi perang. Raksasa raksasa Candrabirawa tidak dilawan.Bahkan didiamkan saja. Raksasa-raksasa Candrabirawa pun kembali ke tuannya.

KELEMBUTAN MAMPU MENGUASAI JAGAD 

Orang lemah lembut sering dianggap lemah. Ini masalahnya. Sehingga lebih banyak orang yang berupaya menunjukkan kekuasaan dengan pamer kekuatan yang bermanifestasi sebagai tindak angkara. Ia lupa bahwa sikap memberikan “pangastuti” mampu melebur tingkah yang “sura dira jaya ning rat”  Masih dalam Serat Witaradya, pupuh Kinanti R Ng Ranggawarsita menjelaskan seperti apa manusia yang sudah mampu mengendalikan menata hawa nafsunya sebagai berikut: 

(1) Ring janma di kang winangun; 
(2) Kumenyar wimbaning rawi; 
(3) Prabangkara dumipeng rat; 
(4) Menang kang sarwa dumadi; 
(5) Ambek santa paramarta; (6) Puwara anyakrawati 

Terjemahan kata per kata merujuk Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939 sebagai berikut:
(1) Ring (Maring: Kepada); Janma: Manusia; Di (Adi: baik); Kang: Yang; Winangun: Ditata; 
(2) Kumenyar: Bercahaya; Wimba:Seperti; Rawi: matahari
(3) Prabangkara: Matahari; Dumipeng: Sampai ke; Rat: Jagad 
(4) Menang: Mengalahkan; Kang: Yang; sarwa: serba; Dumadi: Semua makhluk 
(5) Ambek: Sifat; Santa: sabar; Paramarta: Adil bijaksana 
(6): Puwara: Akhirnya; Anyakrawati: Memerintah

Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:

Pada  orang utama yang sudah mampu menata hawa nafsunya (tidak bersifat angkara murka); Bercahaya seperti sinar matahari; Sinarnya menerangi jagad; menguasa seluruh isi jagad; wataknya sabar, adil dan bijaksana; Akhirnya bisa menguasai jagad (maksudnya pemerintahan).
Pangastuti (panembah) disini dapat diartikan dengan penerapan laku-linggih dan solah muna-muni (perilaku dan ucapan) dalam penerapan Basa Basuki.

Itulah "Sura dira jayaning rat, lebur dening pangastuti", yang mampu mengalahkan sifat yang mengarah ke “Adigang Adigung Adiguna”. Sebuah ajaran yang patut kita renungkan pada abad ke 21 ini.

Sumber :
Grup Sinau Nulis Jawa 
iwanmuljono.blogspot.com
(Copas dengan sedikit editan)

oooooOOOooooo

5 komentar:

  1. suradira jayaningrat lebur dening pangastuti, kalau dipikir seperti sangkalan memet, tahun mesahi, jadi sudah tidak memakai kunci cara asngkalan condsro sangkolo tapi logika surya sangkolo :
    Suradiro= kekuatan ADHIDAYA MAXIMUM DALAM SITIM DIGIT - 9 --- Jayaningrat = SATU= 1 (ADA NYANYIAN wE ARE THE CAMPION) , Lebur = 0--- Dening pangastuti = oleh kehendak AllAH TANG MAHA PEMURAH DAN MAHA PENGASIH = 2 SIFAT ALLAH UNTUK DITELADANI MANUSIA jADI MENURUT SANGKALAN MEMET DIBACA DARI BELAKANG 2019 --- R.Ng RONGGOWARSITO TERKENAL RAMALANNYA YANG CES PLENG--- ADA APA YA TH, 2019 ? YANTF SURADIRA JAYANINGRAT SUDAH ADA - Pers Mursi ndak cocok diganti pilihannya sendrir lantas dieri dollah muat menpur gandum, P4rs, maduro tidak cocok trus mau diganti Juan Guaido........Korea selatan bayar tyukang pukul GI Ju, Indinesia harus beli saham Freeport.......

    BalasHapus
  2. Iya itu di skala Dunia, lha di skala Indonesia ? Apa yang surodiro jayaninfgsrat yang sekarang mau kembali ndak ngerti ramalan R Ng, ronggowarsirto ini ya....... kok mash ngotot mengandalkan yang dari sana.......Wong sudah dibayar cash, saya kira buat modal menguawsai eknilogi baru nantech dan teknologi homanoid robotic unutk babrik babriknya yang lebih irit dibangding smelter bijih logam.?

    BalasHapus
  3. TULISAN AKSARA JAWA DIATAS KENAPA MARJAYENG LAYARNYA DIATAS JA DAN LEBUR LAYAR DIATAS DA...... HANYA SEKEDAR NANYA

    BalasHapus
  4. Karena ejaan yang digunakan, ejaan Mardi Kawi. Jadi yang seperti layar, itu namanta repha. Repha adalah aksara Rå yang dipasangi, karena aksaranya kecil, Aksara Rå diangkat ke atas menjadi Repha.

    BalasHapus
  5. Dalam kata Marjayeng,sesuai ejaan mardikawi, apabila repha disusul aksara yang masih satu kata, maka aksara tersebut ditulis ganda (dengan pasangannya).

    Sumber:
    Serat Mardikawi
    WJS Purwadarminta

    BalasHapus