Sabtu, 06 Juni 2015

Aksara Lontara

Aksara Lontara adalah aksara di Nusantara yang digunakan di wilayah Sulawesi Selatan. Aksara ini digunakan untuk beberapa bahasa, namun paling sering muncul dalam naskah berbahasa Bugis, karena itu kadang dijuluki sebagai aksara Bugis. Lontara adalah sistem menulis abugida, dimana satu huruf mewakili satu suku kata.


Yang unik dari perkembangan lontara adalah hilangnya tanda baca mati (atau disebut virama). Karena itu, semisal kita mau menulis "kamis", maka dalam lontara tradisional akan ditulis "kami" saja. Ketiadaan virama ini dimanfaatkan untuk sejenis "tebak-tebakkan" tradisional bernama "elong maliong bettuana". Sebuah elong biasanya berupa puisi yang bisa dibaca dengan beberapa cara (karena tidak ada huruf mati). Seorang akan membacakan dengan cara yang tidak bermakna, kemudian pendengar diajak untuk menebak cara baca apa yang akan memunculkan puisi bermakna.


Meskipun secara tradisional tidak memiliki virama, hal ini membuat naskah Bugis cukup sulit dibaca oleh pembaca yang tidak mengerti bahasa atau konteks bacaannya. Karena itu, para ahli lontara telah menyarankan adanya virama dan sejumlah tanda baca yang memudahkan pembaca modern. Sayangnya, banyak dari saran ini yang tidak standar dan masih berupa wacana. Lontara yang resmi terekam dalam Unicode sejak 2003 tidak memiliki virama atau tanda baca lainnya.


Lontara paling umum digunakan untuk menulis buku harian. Pada contoh dibawah, dimuat buku harian yang ditulis oleh Raja Bone pada 1700an akhir. Buku harian macam ini memuat kejadian dan informasi harian yang cukup rinci, dan dapat menjadi jendela kehidupan masa lalu. Contoh lain yang dimuat adalah buku harian tanpa nama yang diambil desa Boddia.


Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar