Perhatikan baik-baik daftar di atas, berapa banyak aksara yang tidak anda kenal dan berapa banyak bentuk pasangan yang membuat anda bertanya-tanya.
Sebagai bangsa dengan peradaban yang kaya akan warisan budaya, tentu saja banyak mengalami pergolakan dan konflik dan memang hal ini pasti dialami oleh banyak peradaban yang lain juga baik dalam hal bahasa, aksara maunpun budayanya.
Salah satu yang terjadi adalah dengan berkurangnya pemakaian aksara Mahaprana dalam kehidupan sehari-hari karena pemakaian bahasa kuno (Sansekerta maupun Jawa Kuno) sudah semakin memudar, karena para bangsawan bersekolah di sekolah Belanda yang berbahasa eropa dan berhuruf latin serta rakyat biasa yang bersekolah di sekolah rakyat dengan aksara jawa yang sederhana (20 Aksara Dasar). Untuk mencegah hilangnya aksara-aksara yang sudah jarang terpakai, sampai pada suatu masa, Kongres mengganti posisi aksara-aksara yang jarang dipakai tersebut menjadi "Aksara Murda" serta menyederhanakan sistem penulisannya agar lebih mudah dipelajari (meski di kemudian hari pada akhirnya ditemukan banyak kelemahannya juga, namun setidaknya masih ada kongres-kongres baru untuk membahas hal ini). Dibalik itu semua, hal yang miris adalah dari 80an juta orang Jawa yang berbicara bahasa Jawa, mungkin tidak sampai 1% yang tetap mencintai dan menggunakan aksara jawa sebagai aksara sehari-hari, tapi semuanya kembali lagi pada pribadi masing-masing, jika merasa memiliki ya "sumangga kersa" kalau tidak ya tidak masalah, tapi juga jangan men-judge yang memakai itu kampungan, kuno atau apalah, karena sebaiknya kita hidup berdampingan dengan saling menghargai agar kita bisa sama-sama berbahagia, dan melengkapi.
Dalam perkembangan selanjutnya, secara filosofis budaya kita menciptakan banyak mitologi seperti misalnya mitologi kisah Ajisaka serta menetapkan peraturan baru penulisan seperti misalnya bahwa aksara swara tidak bisa menjadi pasangan, hanya dipakai untuk nama asing, aksara NGA tidak bisa dipasangkan, aksara jawa tidak memiliki diftong dan banyak lagi peraturan lainnya. Namun sebenarnya tanpa disadari terjadi erosi yang cukup memprihatinkan yaitu generasi saat ini bukan hanya tidak bisa membaca naskah-naskah yang lebih tua lagi, malahan justru ada yang menyalahkan sistem penulisan kuno tersebut sebagai cara penulisan yang kurang tepat. Tapi tidak masalah, karena dengan pembelajaran semuanya bisa diatasi. Kita juga harus bersyukur kalau banyak artefak bangsa kita yang menjadi koleksi di museum asing dan terawat dengan baik, sehingga kita masih bisa mengaksesnya.
9 Aksara Mahaprana di atas adalah aksara yang diucapkan dengan hembusan lebih kuat. Secara kebetulan jumlah ini sama dengan jumlah lubang hawa dalam khasanah budaya Jawa yang dikenal dengan istilah “Babagan Hawa Sanga”.
Sembilan lubang tubuh tersebut adalah dua lubang mata, dua lubang
hidung, dua lubang telinga, satu lubang mulut, satu lubang kemaluan dan
satu lubang dubur.
Sebagai bangsa dengan peradaban yang kaya akan warisan budaya, tentu saja banyak mengalami pergolakan dan konflik dan memang hal ini pasti dialami oleh banyak peradaban yang lain juga baik dalam hal bahasa, aksara maunpun budayanya.
Salah satu yang terjadi adalah dengan berkurangnya pemakaian aksara Mahaprana dalam kehidupan sehari-hari karena pemakaian bahasa kuno (Sansekerta maupun Jawa Kuno) sudah semakin memudar, karena para bangsawan bersekolah di sekolah Belanda yang berbahasa eropa dan berhuruf latin serta rakyat biasa yang bersekolah di sekolah rakyat dengan aksara jawa yang sederhana (20 Aksara Dasar). Untuk mencegah hilangnya aksara-aksara yang sudah jarang terpakai, sampai pada suatu masa, Kongres mengganti posisi aksara-aksara yang jarang dipakai tersebut menjadi "Aksara Murda" serta menyederhanakan sistem penulisannya agar lebih mudah dipelajari (meski di kemudian hari pada akhirnya ditemukan banyak kelemahannya juga, namun setidaknya masih ada kongres-kongres baru untuk membahas hal ini). Dibalik itu semua, hal yang miris adalah dari 80an juta orang Jawa yang berbicara bahasa Jawa, mungkin tidak sampai 1% yang tetap mencintai dan menggunakan aksara jawa sebagai aksara sehari-hari, tapi semuanya kembali lagi pada pribadi masing-masing, jika merasa memiliki ya "sumangga kersa" kalau tidak ya tidak masalah, tapi juga jangan men-judge yang memakai itu kampungan, kuno atau apalah, karena sebaiknya kita hidup berdampingan dengan saling menghargai agar kita bisa sama-sama berbahagia, dan melengkapi.
Dalam perkembangan selanjutnya, secara filosofis budaya kita menciptakan banyak mitologi seperti misalnya mitologi kisah Ajisaka serta menetapkan peraturan baru penulisan seperti misalnya bahwa aksara swara tidak bisa menjadi pasangan, hanya dipakai untuk nama asing, aksara NGA tidak bisa dipasangkan, aksara jawa tidak memiliki diftong dan banyak lagi peraturan lainnya. Namun sebenarnya tanpa disadari terjadi erosi yang cukup memprihatinkan yaitu generasi saat ini bukan hanya tidak bisa membaca naskah-naskah yang lebih tua lagi, malahan justru ada yang menyalahkan sistem penulisan kuno tersebut sebagai cara penulisan yang kurang tepat. Tapi tidak masalah, karena dengan pembelajaran semuanya bisa diatasi. Kita juga harus bersyukur kalau banyak artefak bangsa kita yang menjadi koleksi di museum asing dan terawat dengan baik, sehingga kita masih bisa mengaksesnya.
Dalam perkembangannya Aksara Murda digunakan untuk menuliskan nama-nama tempat atau orang terhormat. Ternyata setelah memiliki 8 Aksara Murda, para bangsawan masih kebingungan menulis gelar kebangsawanan yang banyak banyak sekali memakai aksara RA sementara dari aksara jawa kuna tidak ada yg bisa dijadikan aksara RA sebab di Jawa kuna huruf RA hanya ada satu, dan itupun bentuknya adalah yang paling kecil. Lalu bagaimana caranya? yaitu dengan membuat huruf baru. Huruf baru ini dinamakan Ra Agung (ꦬ). Bukan Murda tapi Agung agar lebih wingit lagi. Bukan itu itu saja, Aksara Ra Agung dibuat lebih lebar dari aksara yang paling lebar. Juga bentuknya dibuat mengerikan dengan tanduk menganga ke atas.. fantastis...
Bagi saya sendiri Ra Agung adalah Aksara Jawa yang paling keren dan paling saya sukai, jadi menurut saya pribadi, tidak masalah kalo ada kerabat bangsawan yang ingin menggunakan aksara ini.
Tapi, sebaiknya penyematan gelar jangan hanya menempel saja, tapi harus disertai dengan tanggung jawab dan dengan aksi bahwa memang seorang pemakai benar-benar memangku kami, mengayomi kami, menjadi panutan bagi kami, menjadi suri tauladan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bertanah air.
SUMBER :
Omniglot.com
Diskusi Grup Sinau Nulis Jawa & Sinau Aksara Jawa
Diskusi Grup Sinau Nulis Jawa & Sinau Aksara Jawa
Salam budaya..
BalasHapusMas tolong dong dibuatin sebuah nama dalam aksara hanacaraka buat saya abadikan sebagai tato..
Matur nuwun..
Silahkan masuk atau Japri di Grup:
Hapushttps://id-id.facebook.com/groups/sinau.nulis.jawa/?fref=mentions
huruf jawa diatas mengadopsi huruf india. sedangkan huruf jawa yang asli telah dilupakan oleh bangsa indonesia. padahal berkas asli mengenai huruf jawa asli dan peninggalan sejarah dgn huruf jawa asli di curi oleh pemerintah belanda dan akses ke perpustakaan belanda sangat ketat. ada apakah gerangan dengan sejarah bangsa indonesia yg ditutup-tutupi orang belanda
BalasHapusBisa iya, bisa juga tidak...
HapusKalaupun iya, seharusnya ada sejarahnya... mungkin dari huruf gambar dulu... atau mendapat ide dari bangsa lain tentang tulisan, baru buat versi sendiri...
Kalo yang ini, memang benar turunan brahmi - pallawa - kawi - modern jawa (mataraman)
Sy memiliki barang peninggalan mbah buyut, selembar tembaga yg diatasnya tertulis aksara kuno, saya sangat ingin mengetahui apa arti aksara tersebut, mohon informasi sy bisa konsultasi denngan siapa, jika berkenan bisa hubungi saya di WA : 081326917387 (dody) sehingga sy bisa tunjukkan foto dari aksara tersebut
BalasHapusSilahkan masuk atau Japri di Grup:
Hapushttps://id-id.facebook.com/groups/sinau.nulis.jawa/?fref=mentions