Selasa, 06 Januari 2015

Asal Usul Aksara Jawa

BAGAN SILSILAH AKSARA JAWA

10885558_740902372696797_1013740492305632404_n

Kawi I : Aksara Kawi dengan pasangan.
 
Kawi II : Aksara Kawi tanpa pasangan seperti yang dipakai di Prasasti Candi Sukuh.



Proses pembentukan Aksara Jawa dari Aksara Kawi :

 
Kawi 19



Aksara Kawi disatukan dengan Taling-Tarung Kawi, 
dan terbentuklah Aksara Jawa.


 

Aksara Jawa dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya. Aksara dasar yang berupa suku kata dengan vokal /a/ atau /ɔ/ memiliki dua bentuk, yang disebut nglegena (aksara telanjang), dan pasangan (ini adalah bentuk subskrip yang digunakan untuk menulis gugus konsonan), sementara jenis lain meliputi aksara suara, tanda baca, dan angka Jawa. Setiap suku kata dalam aksara Jawa.

Sejumlah tanda diakritik yang disebut sandhangan berfungsi untuk mengubah vokal (layaknya harakat pada abjad Arab), menambahkan konsonan akhir, dan menandakan ejaan asing. Beberapa tanda diakritik dapat digunakan bersama-sama, namun tidak semua kombinasi diperbolehkan.

Tulisan Jawa dan Bali adalah perkembangan modern aksara Kawi, salah satu turunan aksara Brahmi yang berkembang di Jawa. Pada masa periode Hindu-Buddha, aksara tersebut terutama digunakan dalam literatur keagamaan dan terjemahan Sanskerta yang biasa ditulis dalam naskah daun lontar. Selama periode Hindu-Buddha, bentuk aksara Kawi berangsur-angsur menjadi lebih Jawa, namun dengan ortografi yang tetap. Pada abad ke-17, tulisan tersebut telah berkembang menjadi bentuk modernnya dan dikenal sebagai Carakan atau hanacaraka berdasarkan lima aksara pertamanya.

Carakan terutama digunakan oleh penulis dalam lingkungan kraton kerajaan seperti Surakarta dan Yogyakarta untuk menulis naskah berbagai subjek, di antaranya cerita-cerita (serat), catatan sejarah (babad), tembang kuno (kakawin), atau ramalan (primbon). Subjek yang populer akan berkali-kali ditulis ulang. Naskah umum dihias dan jarang ada yang benar-benar polos. Hiasan dapat berupa tanda baca yang sedikit dilebih-lebihkan atau pigura halaman (disebut wadana) yang rumit dan kaya warna.

Pada tahun 1926, sebuah lokakarya di Sriwedari, Surakarta menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan Sriwedari), yang merupakan landasan awal standarisasi ortografi aksara Jawa. Setelah kemerdekaan Indonesia, banyak panduan mengenai aturan dan ortografi baku aksara Jawa yang dipublikasikan, di antaranya Patokan Panoelise Temboeng Djawa oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada 1946, dan sejumlah panduan yang dibuat oleh Kongres Bahasa Jawa (KBJ) antara 1991 sampai 2006. KBJ juga berperan dalam implementasi aksara Jawa di Unicode.

Namun dari itu, penggunaan aksara Jawa telah menurun sejak ortografi Jawa berbasis huruf latin ditemukan pada 1926, dan sekarang lebih umum menggunakan huruf latin untuk menulsi bahasa Jawa. Aksara Jawa masih diajarkan sebagai muatan lokal pada sekolah dasar dan sekolah menengah di provinsi yang berbahasa Jawa.


Sumber :
1. Wikipedia
2. Grup Sinau Aksara Jawa & Sinau Nulis Jawa
3. honocoroko.tk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar